KISAH TENTANG MALAM HENING

Posted: 17 Januari 2010 in cerpen

Telah reda hujan badai yang baru saja memorakporandakan kampungku. Tapi gemerincik suara aliran sungai seolah melenyapkan kepanikan sore itu. Dan aku lekas menghela nafas, panjang. Entah kenapa hujan sore itu sungguh tak bersahabat. Setiap tetes airnya begitu kuat menghantam setiap rumah di kampungku. Mungkin ini sebuah bencana. Ah tidak, ini sebuah teguran dari tuhan.
***
Aku berjalan keluar dari rumah kecilku mengitari kampung. Puing-puing kayu berserakan, tanah menjadi becek bercampur lumpur dari selokan yang meluap kala itu. Aroma khasnya menyengat sistem pembauanku. Kulihat segerombol warga berkumpul di halaman depan kantor kepala desa. Pandangan mereka terlihat memusat pada satu objek. Aih, mbah Paijo rupanya. Mulutnya komat kamit, entah apa yang sedang ia baca. Sementara matanya tertutup rapat, kedua telapak tangannya di tempelkan tepat sejajar dengan dadanya. Lagi-lagi para warga diperdaya oleh tindakan bodoh mbah Paijo.
“Dang, sedang apa kau disini? Sedang apa pula si mbah tak waras itu?”, dengan nada pelan aku bertanya pada temanku, dadang. “Sudahlah, tutup mulutmu itu, mbah Paijo sedang memohon kepada Dewa hujan supaya tidak menurunkan hujan badai lagi”, Dadang menjawab dengan nada kesal. “Ah, terserah kau, mau-maunya di bodohi orang gila semacam dia”. Rupanya para warga benar-benar telah diperdaya, termasuk dadang, temanku.
Nampaknya hari mulai petang. Langit terlihat sudah gelap, entah karena memang sudah petang atau karena mendung. Sepoi angin terasa dingin menusuk kulit kasarku. Aku bergegas pulang, lalu keluar lagi menuju Mushola kecil di samping rumahku. Telah masuk waktu Maghrib. Kulantunkan Adzan memecah keheningan kampungku melelui spiker tua yang telah berkali-kali diservis. “Heh bodoh, jangan berisik, aku tidak bisa konsentrasi mendengar suara jelekmu itu!”. Terdengar suara teriakan seorang bapak-bapak dari luar Mushola, mbah Paijo nampaknya. Tak kuhiraukan suara itu. Ia lalu melempariku dengan batu yang ukurannya tidak begitu besar namun juga tidak kecil. Bagian belakang kepalaku yang jadi sasaran. Sontak aku merasa pusing. Bukan pusing lagi bahkan, seolah pecah kepalaku ini. Lalu, aku tak sadarkan diri…
***
Dengan posisi tengkurap diatas ranjang tempat tidurku, aku berusaha bangkit dari keadaan lemahku. Tertatih langkah kakiku bejalan keluar dari kamar. Sepi. Tak ada seorang pun di rumah kecuali aku.
Beberapa saat kemudian, terdengar teriakkan keras seorang perempuan tua dari luar rumah–seperti ketakutan. Nampak tak asing lagi suara itu terdengar ditelingaku. Seperti telah terkumpul kembali tenagaku, aku dengan cepat berlari keluar rumah mencari sumber suara itu. Dibawah pohon beringin rindang terlihat ibuku menangis histeris sembari memeluk bapakku yang terbaring lemas di halaman penuh kerikil di depan rumah mbah Paijo.
“Bu, bapak kenapa?”, tanyaku dengan penuh penasaran, sambil mengangkat tubuh bapakku menumpang diatas kakiku yang terlipat kuat. “Mbah Paijo nak, dia tega menusuk bapakmu”, kata ibu dengan nada marah dan tak henti-hentinya menangis. Aku berdiri lalu mengangkat tubuh lemas bapak dengan darah yang mengucur keluar dari perutnya. Muncul Dadang, membantuku mengangkat bapak. “Dang, kamu ambil becakmu, antar bapak dan ibu ke Rumah Sakit”. Dadang mengangguk, mengiyakan perintahku. Dia lekas pergi dan kembali membawa becak yang biasa ia gunakan untuk mencari nafkah. Dadang mengantar bapak dan ibu ke Rumah Sakit. Sekuat tenaga ia mengayuh becak tuanya. Beberapa saat kemudian Dadang dan ibu telah hilang dari pandanganku, berbelok ke sebuah gang kecil menuju Rumah Sakit.
Tak bisa kutahan amarahku yang meluap seperti gunung merapi yang hendak memuntahkan lahar panasnya. Aku lalu bergegas kembali ke rumah mbah Paijo, dan hendak memberi perhitungan atas apa yang ia perbuat terhadap bapak. “Dukun gila! Keluar kau!”, teriakku. Tangan kananku mengetuk pintu depan rumah mbah Paijo. Keras. Bunyinya seperti dentuman meriam zaman penjajahan. Dug, dug, dug! Berulang kali. Sesaat kemudian keluar sosok laki-laki tua berkumis, mata bulatnya tak sedikitpun berkedip menatapku. Alisnya yang tebal dikerutkan, beserta dahinya. “Apa yang kamu lakukan? Berani-beraninya membuat ribut di rumahku! Ingin seperti Misbah–bapakmu itu, hah?”, gertaknya. Laki-laki itu terlihat semakin buas dengan keris pendek yang ia genggam di tangannya. Aku tak gentar barang sedikitpun. Dia lalu menerkamku seperti seekor singa menerkam rusa, mangsanya. Kami berdua tersungkur keluar ke halaman rumah penuh kerikil tepat dimana bapakku tergeletak lemas karena tusukan diperutnya. Ditodongkannya keris pusaka itu ke arahku. Wajah tuanya sumringah, puas.
“Berhenti! Angkat tangan!”, gertak seorang Polisi mengarahkan pistolnya ke dukun gila itu. Terlihat para warga dengan muka tegang mereka, berjejer berdiri dibelakang Polisi itu. “Lemparkan keris itu ke arah sini!”, gertak Polisi itu lagi. Aku menjauh, menyingkir dari sosok pria tua itu, lalu berjalan ke arah segerombol warga yang masih berjejer dibelakang Pak Polisi. “Anda kami tangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap pak Misbah dan anaknya!”, teriak pak Polisi kepada mbah Paijo. Polisi itu lekas memborgol tangan mbah Paijo. Muka mbah Paijo terlihat geram, kedua bola matanya fokus menatap kearahku. Lalu berteriak, “Awas kamu bocah tengik! Saya tidak akan tinggal diam!”.
Kepanikan malam itu perlahan mulai luntur tersapu angin malam yang dingin. Warga yang tadi bergerombol mulai memencar kembali ke rumah mereka masing-masing. Dan seketika malam menjadi sepi. Hening.

Komentar
  1. Abdul Manaf berkata:

    Bagus banget kata-katanya, kamu sudah lama menulis ya? aq baru belajar menulis lewat blogku. kalo ada waktu buka blogku ya di http://abdulmanafpelawe.wordpress.com … di sana ada cerpen pertamaku judulnya ” Arti tangisan Bunda” , alur ceritanya sih masih berantakan, terus kata-katanya juga ga beraturan. maklum perdana….. eh kasih komentar ya. apa yang harus aku perbaiki? ok Thanx…… salam kenal

    Suka

Tinggalkan komentar