ahmad tohariNovel Bekisar menceritakan mengenai kehidupan Masyarakat Karangsonga. Kesehariannya, mereka sebagian besar bekerja sebagai penderas Nira kelapa untuk dibuat gula merah. Oleh karena itu, mayoritas mereka adalah kalangan bawah yang hanya untuk makan saja susah.
Di dalamnya menceritakan pasangan suami istri bernama Darsa dan Lasiah yang harus menanggung kehidupan yang berat. Darsa yang penderes, beristerikan Lasi yang cantik dan berkulit putih, yang mempunyai nilai fisik di atas rata-rata isteri-isteri para penyadap lain. Ternyata Lasi merupakan keturunan campuran antara mbok Wiryaji dengan seorang tentara Jepang yang setelah pernikahannya, tidak pernah kembali ke desa dan hilang tidak tentu rimbanya-kabarnya ditahan Belanda.
Kemiskinan penduduknya sangat tergambar detil di dalam novel ini. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat artikulatif tentang alam pedesaan. Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu untuk menadah getah nira), ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumberdaya alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan mereka. Tidak ada alternatif untuk memperoleh keuntungan sedikit lebih, dengan ‘mencuri’ kayu sebagai bahan bakar membuat tengguli, bahan gula merah.
Adapun konflik pembuka dalam novel ini adalah masyarakat Karangsonga harus bertaruh nyawa ketika sedang memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira. Demikian juga nasib Darsa. Karena jatuh, yang dalam kebiasaan masyarakat disebut sebagai “kodok melompat” (pantang untuk menyebut jatuh dari pohon kelapa—sebagai pengingkaran rasa takut komunal), Darsa sempat menderita kelainan di sekitar alat reproduksinya, lemah pucuk. Dia pun, karena miskin, hanya dirawat oleh seorang dukun bayi, Bunek. Lasi dengan setia tetap menemani suaminya meski dalam kondisi lemah dan selalu ngompol. Lama kelamaan, karena pengobatan intensif yang dilakukan Bunek terutama pada sekitar selangkangan Darsa, diapun bisa pulih kembali. Pada malam “kebangkitan kembali” si Darsa, Bunek minta agar dicobakan pada Sipah, perawan tua anak Bunek sendiri. Darsa yang memang berada pada pilihan sulit akhirnya mau menerima tawaran itu. Hingga berujung pada kepergian Lasipah ke kota untuk meninggalkannya. Ia pun menikah dengan anak Bunek.
Cerita lalu banyak membedah batin Lasi. Sebagai perempuan desa yang cantik yang telah terbiasa hidup dengan segala kemiskinannya selama dua puluh empat tahun, secara tiba-tiba dihadapkan dengan norma-norma kehidupan kota besar yang amat sangat asing baginya. Dia yang ditampung sementara oleh ibu Koneng, pengelola warung tempat para sopir truk mampir yang juga menjadi tempat berpangkalnya para perempuan “pacar” para sopir truk, menyaksikan nilai-nilai sosial yang teramat sulit dipahami oleh seorang perempuan desa yang sederhana dengan tingkat pendidikan yang rendah. Misalnya, keintiman lelaki dan perempuan yang selama ini dipahami sebagai perilaku yang didasari oleh percikan jiwa dan cinta, di warung itu bisa terjadi dengan begitu gampang, oleh siapa saja, dengan dasar beberapa lembar uang kertas.
Singkat cerita, Lasi, yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan sebentuk cincin berlian. Para pejabat pemerintah saat itu diceritakan mempunyai kebiasaan mencari “pacar” atau isteri kesekian yang mempunyai wajah mirip orang Jepang. Ini akibat dari perilaku latah birokrat karena Pemimpin Besar-nya memasukkan seorang geisha ke istana dan akhirnya menjadi ibu negara. Klop sudah, dengan Lasi. Dia yang mempunyai wajah seorang perempuan Jepang, menjadi incaran para pejabat. Diapun lalu ditukar dengan sebuah mobil Mercedes dan beberapa puluh juta rupiah oleh ibu Lanting kepada Pak Handarbeni, seorang overste purnawira yang menjadi pejabat, berumur hampir enampuluh lima tahun, gemuk, dan sudah mempunyai dua isteri. Lasi-pun menjadi seekor bekisar yang menjadi pajangan di rumahnya yang baru dan mewah di Slipi. Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Biasanya jenis ayam ini untuk hiasan dalam kandang indah oleh para orang kaya.
Lasi, yang akhirnya dikawini Pak Handarbeni (perkawinan main-main menurut istilah Lasi), menikmati segala kemewahan materi yang tidak pernah terbayangkan oleh bekas seorang isteri penderes nira dari desa Karangsoga. Namun di balik segala kemewahan materi, penderitaan batin Lasipun amat berat. Dia merindukan desanya, emaknya, dan Kanjat, teman sepermainannya waktu sekolah yang sekarang sudah menjadi mahasiswa dan hampir lulus. Pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh lama dalam hidupnya membuat Lasi makin linglung karena berdiri di antara dua nilai kehidupan yang dipisahkan oleh jurang yang teramat dalam.


– Judul artikel : Menjelami Laoetan Kesoesteraan
– Penulis : Anggia Murnie
– Sumber artikel : Hal. 88 – 103
– Ringkasan Artikel :
Sepantun kembang mula mengorak. Demikianlah asal mula bahasa kesusastraan tumbuh di tanah air kita. Dalam masa itu dunia persurat kabaran sedikitnya telah dapat dibanggakan. Segi itulah yang berjasa dalam peristiwa ini, yaitu dalam menciptakan bahasa Indonesia. Kemudian mulai tumbuh persoalan ekonomi, sosial, politik. Akan tetapi yang terpokok dan terutama soal bahasalah yang lebih dimajukan.
Bahasa adalah suatu alat dan perkakas untuk mengeluarkan dan menyampaikan apa yang terasa dalam hati dan apa yang tergores dalam dada. Dari bahasa inilah keluarnya kesusastraan. Kesusastraan adalah seni bahasa. Sedangkan seni berarti keindahan dan kehalusan yang diciptakan oleh insani. Kesusastraan itu ada yang berupa puisi dan ada juga yang berupa prosa baik yang berupa sajak atau bukan. Perbandingan ahli-ahli sastra yang muncul dapat kita lihat seperti Surapaty, Hr. Bandaharo, Rifai Ali, A. hasjmy dll. Kemudian kesusastraan dipakai untuk memperbagus dan memperindah bahasa. Adapun yang menyematkan hikmat dan falsafat, semangat dan ketuhanan adalah tujuan dan maksud yang ke-2.

– Judul Artikel : Musyawarah Seniman dan Budayawan Islam
– Penulis : –
– Sumber Artikel : Hal. 475 – 480
– Ringkasan Artikel :
Musyawarah tersebut menghasilkan empat keputusan, yaitu 1) Wujud Kebudayaan, terdiri dari dua poin, yaitu pengertian Kebudayaan dan Kebudayaan Islam. 2) sikap Islam terhadap Kebudayaan dan Kesenian, berisikan tentang tujuan Kebudayaan dan Hukum Kesenian. 3) pendirian Budayawan/Seniman Islam Indonesia terhadap gerakan Kebudayaan/Kesenian, berisikan tekad Budayawan/Seniman terhadap gerakan Kebudayaan dan Kesenian. 4) Daftar Usaha-usaha memperkembang Kebudayaan/Kesenian, brisikan perihal tentang pendokumentasian dan registrasi, pemeliharaan Kebudayaan/Kesenian, presentasi (penghidupan) Kebudayaan/Kesenian, dan Kreasi-kreasi baru dalam bidang Kebudayaan/Kesenian.

– Judul Artikel : Buku-buku yang dilarang
– Penulis : Lukman Ali
– Sumber Artikel : Hal. 561 – 574
– Ringkasan Artikel :
Pada saat itu banyak pertanyaan dari guru-guru Bahasa Indonesia kepada Direktorat Bahasa dan Kesusastraan mengenai pelarangan buku-buku Kesusastraan Indonesia dalam bidang pengajaraan Kesusastraan. Dan terdapat beberapa penjelasan mengenai pertanyaan tersebut, 1) pada tgl 30 November 1965 Menteri Pendidika Dasar dan Kebudayaan mengeluarkan Instruksi pelarangan menggunakan buku karangan Ormas/Orpol yang di bekukan sementara masa kerjanya dan buku-buku karangan Ormas/Orpol ‘G 30 S’ yang bertemakan mental Ideologis. Tedapat 70 judul buku dan 87 nama yang dilarang. 2) pada bulan Maret 1967, di umumkan pula pelarangan buku-buku Luar negeri yang mengandung unsure Komunisme, Marxisme-Leninisme, Marxisme-Mao tse tung-isme. Terdapat 174 judul buku yang dilarang. 3) mulai bulan Juni 1966, buku-buku tersebut boleh dipakai dan dimiliki kembali asalkan tidak tidak bertentangan dengan Falsafah Pancasila.

– Judul Artikel : Peranan Balai Pustaka Dalam Perkembangan Bahasa Indonesia
– Penulis : Nur St. Iskandar
– Sumber Artikel : Hal. 5 – 14
– Ringkasan Artikel :
Balai Pustaka (volkslektuur) didirikan oleh Gubernur Hindia Belanda di Jakarta pada 1908. Tujuan di dirikannya yaitu agar orang Indonesia pandai membaca. Kemudian Balai pustaka membentuk Komissie Voor De Volkslektuur untuk memeriksa dan meneliti karya tulis yang di kirimkan tiap-tiap orang kepada Balai Pustaka. Komisi tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan pegawai Pemerintah Indonesia, komisi ini diketuai oleh kepala Balai Pustaka sendiri. Pada tahun 1920 Balai Pustaka menerbitkan majalah tentang Ilmu Pengetahuan dan Volksmanak yang diberi nama Sri Pustaka. Banyak juga tokoh Indonesia yang menyemarakkan penerbitan Balai Pustaka, seperti H. A. Salim, Dr. Soetomo, A. Moeis dan Muh. Yamin.

– Judul Artikel : Angkatan 45
– Penulis : Sitor Situmorang
– Sumber Artikel : Hal. 147 – 152
– Ringkasan Artikel :
Pada masa sebelum angkatan 45 di terima, angkatan 45 sangat di asingkan orang. Termasuk Jogaswara dan Armijn Pane, mereka bmenganggap bahwa Angkatan 45 tidak pernah ada. Jogaswara juga menyimpulkan bahwa Sastrawan Indonesia itu harus melahirkan kesusastraan-kesusastraan yang Demokratis. Oleh karenanya penulis membandingkan konsepsi seni menurut Affandi dan Chairil Anwar. Konsepsi Affandi yaitu bahwa seni merupakan Humanisme (diri merupakan satu dengan sekelilingnya). Sedangkan Chairil Anwar beranggapan bahwa seni itu Human-Dignity (kesadaran persatuan yang menitik beratkan pada diri sendiri). Kemudian penulis membandingkan Angkatan Chairil Anwar dengan Angkatan Takdir. Angkatan Chairil Anwar tidak mempunyai Pandangan hidup tetapi menunjukan sikap hidup. Sedangkan Angakatan Takdir mempunyai pandangan hidup, bahwa sastra merupakan warisan dari zaman dahulu. Angkatan Chairil Anwar merupakan angkatan pencipta bukan angkatan yang hanya menerima.

– Judul Artikel : Fragmen keadaan III
– Penulis : Asrul Sani
– Sumber Artikel : Hal. 210 – 215
– Ringkasan Artikel :
Pada ecara pertemuan di Tugu, Asrul Sani ditanya mengenai isi Angkatan 45 dan perbedeaannya dengan Angkatan Pujangga Baru. Asrul Sani merasa tidak layak berbicara mengenai hal tersebut karena perkataannya mungkin bersifat menurut kehendak sendiri. Kemudian muncullah perbandingan antar Angkatan 33 dan Angkatan 45. Pergeseran dari Angkatan 33 dan 45 adalah karena Idealisme palsu, Sentimentalisme, dan pandangan yang berbeda. Angkatan 45 menganggap Angkatan 33 bukan merupakan kesustraan karena keterbatasan dalam hal tokohnya. Kekurangan pada Angkatan 33 bukan merupakn pembeda dengan Angkatan 45, akan tetapi merupakan sebuah ciri/tipe tersendiri.

– Judul Artikel : Roman Pitjisan
– Penulis : Tamar Djaja
– Sumber Artikel : Hal. 304 – 312
– Ringkasan Artikel :
Orang yang pertama kali menggunakan kata Pitjisan adalah Parada Harahap. Kala itu terjadi perselisihan antara Harahap dan Ratu Mona, sehingga Harahap mengecap Ratu Mona sebagai pengarang kodian dan karangan-karangannya di cap sebagai Roman Pitjisan tidak berharga. Kenapa roman tersebut bisa disebut sebagai Roman Pitjisan, karena : 1) karena cerita tersebut merupakan cerita pendek yang diperpanjang. 2) Isinya tidak begitu padat dan sangat dangkal. 3) Di karang dengan tergesa-gesa. 4) Tebalnya rata-rata hanya 80 halaman. 5) Ceritanya tidak tentu arah, tujuan dan isinya tidak jelas. Roman pertama kali tenrbit di Medan “Dunia Pengalaman” di bawah pimpinan A. Damhari dan Jsuf Souyb, diterbitkan oleh “Pustaka Islam”. Kemudian karya tersebut mendapat kritikan dari sk. “pemandangan” karena cerita Roman Pergaulan terlalu melebih-lebihkan akibat dari penyakit Syphilis yang ditulis dalam roman tersebut. Juga mendapat reaksi dari Perti, yaitu akan membakar buku tersebut, membacakan Qunut bagi orang yang bersangkutan dengan buku tersebut dan mengadukan buku tersebut kepada Resident Padang.

– Judul Artikel : INDONISASI TJILIWUNG 1
– Penulis : Mh. Rustandi Kartakusuma
– Sumber Artikel : Hal. 393 – 399
– Ringkasan Artikel :
Pada tahun 1930 lahirlah Angkatan Pujangga Baru. Semboyan mereka yaitu, “Kita harus Dinamis! Tradisi kita telah usang dan lapuk! Kita harus menggantinya dengan cara hidup baru”. Mereka mengusung Budaya barat sebagai dasar kesustraan mereka. Diantaranya yaitu Takdir. Dan tokoh yang kontra dengan pemahaman itu adalah Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Akan tetapi Takdir bersikukuh akan pandangannya bahwa kesustraan Indonesia harus meniru Budaya Barat, terutama Belanda. Karena pemikiran yang seperi itulah Angkatan Pujuangga Baru tidak bertahan lama yang kemudia timbul Angkatan 45, yang di usung Chairil Anwar dkk, dengan pandangan bahwa kesustraan Indonesia harus menjadi kesustraan Internasionalisme.

– Judul artikel : Jagat Jawa Seharusnya di Tulis dalam Bahasa Jawa
– Penulis : Soebagio Satrowardoyo
– Sumber artikel : Hal. 835-855
– Ringkasan Isi Artikel :

Pada periode ini banyak Sastrawan berpindah kepengarangannya dari penggunaan bahasa daerah secara mutlak menuju penggunaan bahasa Indonesia. Dapat pula di simpulkan bahwa seorang pengarang meninggalkan bahasa daerahnya dan menulis di dalam bahasa Indonesia di karenakan dua hal : yang pertama, dalam lingkup kehidupan/kepekgarangannya Ia sudah tidak terbiasa menggungakan bahasa daerah semisal bahasa jawa. Sedangkan yang kedua, agar karyanya bisa di nikmati secara luas oleh semua pihak, dari pada ia mengarang dalam bahasa daerah.
Dengan demikian ke-2 alasan pokok tersebut mempunyai pijakan untuk membicarakan soal pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra jawa serta penunjangya. Sedangkan lingkup Indonesia merupakan lingkup kesustraan yang bisa menerima kesustraan lain dari berbagai daerah. Dengan mempertimbangkan luas public yang terbatas yang mengenal bahasa jawa, menjadi maklum bahwa timbul keinginan pada pengarang jawa untuk beralih ke bahasa Indonesia.
Masalah yang akan di hadapi oleh pengarang daerah yang berpindah gaya bahasanya yaitu karyanya agak susah di terima. Seperti halnya puisi linus yang berjudul Pariyem, di dalamnya tidak hanya menggambarkan dunia batin yang terdapat pada seorang wanita jawa, tetapi juga membicarakan lingkungan masyarakat jawa dengan adat istiadat yang ada di dalamnya.

– Judul Artikel : NOVEL-NOVEL POPULER INDONESIA
– Penulis : Jacob Sumardjo
– Sumber Artikel : Hal. 668 – 687
– Ringkasan Artikel :
Pada masa itu terbit empat buku yang misinya membicarakan mengenai Novel-novel di Indonnesia. Buku tersebut yaitu Ikhtisar Sejarah Sastra Indonnesia (Ajip Rosidi), Pokok dan Tokoh (A.Teeuw), Perkembangan Novel-novel Indonesia (Umar Jenus) dan Sejarah Sastra Indonesia Modern (Bakrie Siregar). Pada masa itu pula terhitung 650 buku yang masuk ke Balai Pustaka, termasuk Novel picisan yang sangat banyak terbitnya. Akan tetapi buku tersebut kurang di minati karena harga buku yang sangat mahal dan isinya terlalu vulgar. Juga di karenakan karena proses penerbitannya yang terburu-buru dan tidak mementingkan kualitas buku itu sendiri. Novel-novel yang sangat di gemari pada masa ini yaitu novel yang bertemakan silat, oleh karenanya lebih banyak laki-laki yang antusias membacanya tinggi. Dan dalam tiap-tiap buku yang bertemakan silat tokoh utamanya selalu laki-laki. Akan tetapi pada tahun 1972 terjadi Revolusi, muncul sebuah buku karya Marga.T yang berjudul ‘Karmila’, yang di dalam buku tersebut tokoh utamanya adalah seorang perempuan.


– Judul : Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang jilid 3
– Penulis : Pamusuk Eneste
– Penerbit : Gunung Agung – Jakarta MCML XXXVI
– Cetakan Pertama : 1986
– Tebal : 180 halaman

Buku ini menjelaskan mengenai Latar Belakang para Sastrawan Indonesia untuk mulai mengarang dan menghasilkan karya-karya Sastra baik dalam bentuk Sajak, Prosa atau karya-karya Sastra lainnya. Dijelaskan pula perjalanansingkat kehidupan mereka dalam hal kesustraan. Juga terdapat gambaran mengenai proses kepengaraan mereka.

Berikut beberapa penjelasan singkat mengenai mengapa dan bagaimana para Sastrawan besar Indonesia dalam menghasilkan karya-karya Sastra :

– Etos kreatif dan proses kreatif – Linus Suryadi AG : Kehidupan semasa kecilnya tidak menunjukan kalau ia mempunyai keistimewaan dalam hal syair-menyair. Pertama kali ia tertarik dalam dunia syair-menyair yaitu ketika bertemu dengan sejumlah Mahasiswa UGM di Pondokan Utara Tugu Jogja pada tahun 1969. Diantaranya yaitu Suyono Ahmad Suhadi yang sering membaca majalah Horison dan Sastra. Lalu ia tergerak untuk meminjam majalah tersebut sehingga ia berkeinginan untuk menulis sebuah sajak. Dan sajak pertamanya yang di muat di majalah Basis yaitu sajak yang berjudul Alibi. Tujuannya terjun ke dalam dunia kepenulisan puisi yaitu supaya ia bisa terbebas dari keresahan dan kegelisahan batin yang sering ia rasakan.
Prosa liriknya yang sangat di kenal kalangan masyarakat yaitu Pengakuan Pariyem. Tokoh dalam lirik ini diambil dari dua model yaitu seorang anak petani yang menumpang hidup di rumahnya dan seorang dari keluarga sedusunnya, cantik, muda dan merupakan lembu peteng (anak tak sah). Dan beberapa tokoh lainnya yang merupakan buah imajinasinya yang terdapat pada lirik tersebut.
– Hanya Daun, Cuma Daun – Darmanto Jatman : Karena ketidakberhasilannya dalam mengungkapkan sajak bahasa Indonesia, akhirnya banyak sajak Darmanto yang menjadi penghuni keranjang sampah. Satu kata bahasa Jawa yang sulit ia ubah menjadi bahasa Indonesia karena terlanjur menyukai kata tersebut yaitu kata Lestari. Menurutnya kata tersebut telah membebaskannya dari Obsesi kaeabadian yang menjadi impian para penyair pada waktu itu, dan karena satu kata itu pula lah sajaknya tidak jadi di terbitkan. Sementara di Gereja selalu di kabarkan betapa Fananya kehidupan manusia. Sebuah lagu yang telah mengucap segenap pewarnaan pengertian hidupnya, Hanya Daun. Di sampiung percaya akan Wahyu, ia juga percaya akan Ilmu, kelak menurut hematnya Wahyu erembes ke dalam ilmu. Maka ilmu pun menjadi sumber penafsiran makna hidupnya.

– Bergurau atau mencela lewat Mesin ketik – Titis Basino P.I : Titis merupakan sosok wanita pendiam. Ia mulai menulis pertama kali yaitu ketika berada di SLTP dan SLTA. Itu pun hanya ketika ada tuntutan tugas dari gurunya. Pada saat itu pun tulisannya tidak terikat pada aturan yang pernah dipelajarinya di sekolah. Sering kali tulisannya di tertawakan oleh teman-teman sekelasnya, karena menurut teman-temannya bahasa tulisannya sangat aneh dan sukar di pelajari. Tulisan-tulisannya selalu bertemakan mengenai kehidupan guru-gurunya yang pada masa itu mereka sangat ingin di agungkan.
Baginya, menjadi seorang penulis bukanlah tujuan hidupnya, karena ia beranggapan bahwa seorang penulis ituidentik dengan kemiskinan. Menjadi seorang pengarang bukanlah karena honornya, melainkan karena ia akan mendapat kelegaan ketika ia menuliskan apa yang ada di pikirannya. Pertama kali ia menulis yaitu ketika ia berada di asrama putri, yang pada saat itu masih bertemakan perasaannya terhadap lawan jenisnya. Yaitu Rumah Dara, Dia dan Hotel. Ketiga tulisan tersebut di muat di sebuah media. Lewat mesin ketik pula lah ia bisa dengan bebas mencurahkan isi hatinya, bergurau ataupun mencela lawan jenisnya dengan aman.

– Proses kreatif saya sebagai penyair – W.S. Rendra : Pada masa remajanya, pola pikir Rendra lebih menuju pada penghayatan Alam semesta. Ketertarikannya yaitu pada bidang cerita dongeng, legenda dan mitologi. Proses penghayatan Alamnya yaitu dengan cara mengamati, memeluk, menyetubuhi hingga akhirnya menghayati dengan sepenuh jiwa. Yang kemudian sampai pada kesadaran alam, yaitu kesadaran diluar kesadaran kebudayaan. Sebagai seorang seniman, Rendra mempunyai pengalaman melakoni dan menghayatin perkembangan bentuk seni yang beragam. Ia mempunyai disiplin untuk tidak mengabdi pada bentuk seni tertentu, melainkan harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam dan mampu melayani kebutuhan Dinamisme isi rohani dan pikirannya. Setelah lama berkecimpung dengan dunia alam, ia pun kini mulai memikirkan tentang peristiwa hidup dan mati. Hingga lahirlah sajak Kakawin kawin dan Masmur mawar. Selain itu, Rendra juga merupakan sosok yang sangat tertari9k dengan persoalan sosial, ekonomi dan politik, meskipun pengetahuannya dalam bidang tersebut sangatlah minim.

– Mengapa mengaramg – Utut Tatang Sontani : Utuy adalah seorang yang asli keturunan dari keluarga Sunda. Ayah dan ibunya hidup didaerah Cianjur. Pada masa kecilnya ia pernah di sekolahkan di sekolah Schakel, di situ ia bisa belajar banyak tentang bahasa Belanda. Akibat keterbatasannya dalam hal menghafal, ia di hukum oleh gurunya untuk berdiri di depan kelas. Sehingga pada hri-hari setelah itu ia tidak mau untuk melanjutkan sekolah dan akhirnya di keluarkan dari sekolah Schakel. Melihat ahl itu, ibunya tidak tinggal diam, beliau berkali-kali membujuknya agar mau di sekolahkan kembali. Tapi ajakan ibunya itu terus menerus ia tolak hingga ia akhirnya bersedia di sekolahkan lagi. Ketika seusia remaja ia sangat senag membaca koran. Dan pertama kali ia mulai menulis yaitu ketika ia merasa sangat kesal terhadap seorang gadis perempuan, tetangganya. Tulisan tersebut kemudian ia kirimkan ke redaksi sinar pasundan melalui paman dari gadis perempuan tetangganya itu. Tulisan itu pun berhasil di muat karena dalam proses pembuatannya ia merasakan sendiri keadaan tersebut sehingga dapat begitu mengena di hatinya. Nasib kependidikannya mulai tidak jelas, ia pernah naik kelas pindah ke sekolah Taman dewasa, tapi tidak bertahan lama karean keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, akhirnya ia keluar dari sekolah tersebut. Setelah itu ia mulai menulis kembali, terdapat dua karya pada saat itu, Mahala Bapak dan Tambera. Hingga orang telah banyak yang mengenalnya. Menurut ibunya, ia pandai mengarang di karenakan sifatketurunan dari neneknya dulu yang suka mengarang cerita juga. Kata ayahnya berbeda lagi, ia pandai mengarang karena didikan paman dari gadis yang dulu pernah menjadi tetangganya.

– Kesimpulan : Para Sastrawan Indonesia dair kecil sangat bevaariatif kehidupannya, ada yang semasa kecilnya sudah menunjukan kalau ia akan menjadi seorang pengarang besar dan ada pula yang semasa kecilnya sama sekali tidak menunjukan keistimewaannya dalam hal mengarang dan menulis. Kepengarangan itu sendiri mereka temukan melalui proses kehidupan dan realitanya.

Sinopsis Tidak Ada Esok

Posted: 14 Januari 2011 in Kuliah, sastra

– Judul : Tidak Ada Esok
– Pengarang : Mochtar Lubis
– Tahun : Cetakan Ketiga, 1989
– Tebal buku : 226 hlm.
– Penerbit : Pustaka JayaMochtar lubis

Ringkasan Cerita
Novel ini menceritaakan tentang perjuangan seorang tokoh Johan ketika masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, dan paska kemerdekaan. Berawal dari penggambaran setting yang sangat piawau dilakukan oleh pengarang. Tokoh Johan bersama pasukan lainnya hendak mengepung para penjajah di sebuah hutan. Kegelisahannya mulai terasa ketika pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang memberatkan.
Setelah tau musuh tidak jadi lewat di daerah yang mereka tunggui, mereka beristihat membentuk sebuah perkumpulan, dimana seorang-seorang saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Johan yang kala itu menceritakan pengalamnnya bertemu bertemu dengan seorang gadis. Pengalaman itu baginya sangat berarti. Dari situlah kisah cintanya dengan perempuan itu timbul.
Kemudian ia hendak pergi ke Kota Yogya, ke rumah temannya. Di sana ia bersama dengan teman lainnya masuk ke dalam organisasi masing-masing, ada yang masuk sebagai tentara, sebagai Laskar Rakyat, dan sebagainya. Sedangkan ia sendiri masuk Peta pada tahun 1944. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat kuat, ia dinilai sangat bagus.
Kemerdekaan pun tiba, saat itulah ia merasa telah tenang. Akan tetapi ketenangannya itu kembali harus terusik setelah kedatangan kembali Belanda untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Pada saat itu Johan bertindak sebagai pembawa laporan dari para pejuang yang hendak dilaporkan kepada kantor pusat.
Pada pertempuran paska kemerdekaan itulah banyak dari temannya yang gugur. Kematian teman-temannya menjadi dasar pemikirannya untuk merenungi, untuk apa ada pertempuran, pertumpahan. Ia akhirnya menyadari semua itu adalah sebuah pengorobanan.

Komentar
Novel ini merupakan novel yang sangat bagus. Pengarang seperti menceritakan tentang sejarah bangsa Indonesia pada zaman penjajahan sedetil mungkin. Penggambaran tersebut dilakukan dengan bermacam-macam cara, seperti kisah langsung tokoh utama dan cerita-cerita dari tokoh lainnya dalam novel ini. Penggambaran watak tokoh kurang begitu detil. Lain halnya dengan penggambaran setting yang dijelaskan sedetil mungkin, tempatnya, suasananya, dan sebagainya, seperti pada saat menggambarkan keadaan pasar malan Rakutenchi. Selain itu, pengarang juga banyak menyisipkan kalimat-kalimat yang merupakan pemikiran filsafatnya mengenai kehidupan dan kemanusiaan. Konflik yang terjadi dijelaskan dengan wajar. Berbeda dengan konflik batin yang terjadi antara ia dengan tokoh Ifah dalam cerita tersebut. Mereka bisa saling menerima meskipun pemikiran mereka saling berbanding terbalik.


LATAR BELAKANG
Sastra merupakan penggambaran kehidupan yang dituangkan melalui media tulisan. Terdapat hubungan yang erat antara sastra dan kehidupan, karena fungsi sosial sastra adalah bagaimana ia melibatkan dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat (Semi, 1989:56).
Melalui sastra, pola pikir seseorang atau kelompok masyarakat dapat terpengaruh. Karena sastra merupakan salah satu kebudayaan, sedangkan salah satu unsur kebudayaan adalah sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, di dalam sebuah karya sastra tentu akan terdapat gambaran-gambaran yang merupakan sistem nilai. Nilai-nilai yang ada itu kemudian dianggap sebagai kaidah yang dipercaya kebenarannya, sehingga pola pikir masyarakat dapat terbentuk melalui karya sastra.

PEMBAHASAN
Sosiologi Sastra
Dalam kaitannya menghubungkan antara sastra dan perubahan sosial, peran sosiologi sastra sangat penting. Karena sosiologi sastra hanya mengkhususkan diri menelaah sastra dalam hal sosial kemasyarakatan. Seperti yang tercantum di dalam pengertian sosiologi itu sendiri yaitu suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sedangkan Sastra merupakan penggambaran kehidupan manusia dan masyarakat yang dituangkan melalui media tulisan (Semi, 1989:52). Jadi, kedua hal tersebut sama-sama berhubungan dengan manusia dan masyarakat.
Dalam mengikuti perkembangan karya satra secara serius, perlu adanya pendekatan dimana karya sastra tidak lagi dicap sebagai tulisan yang hanya berupa kreasi imajinatif saja, akan tetapi lebih memperhatikan sastra dari sudut pandang “maknanya”. Berbagai macam pendekatan yang dilakukan terhadap karya sastra Yang ada pada sosiologi sastra, seperti sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang berkenaan dengan penciptaan karya sastra; yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan pengaruhnya terhadapa pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra (Wiyatmi, 2006). Oleh karena itu, secara garis besar pondekatan ini merupakan suatu pendekatan yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia terutama menyangkut kehidupan kemasyarakatannya.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (dalam Sayuti, 2007) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Hubungan Sastra, Masyarakat, dan Kebudayaan
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu sangat erat, karena kebudayaan itu sendiri, menurut pandangan antropolog, adalah cara suatu kumpulanmanusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menenukan suatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan, dimana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian dari kebudayaan.
Kebudayaan memiliki tiga unsur:
1. Unsur sistem sosial
2. Sistem nilai dan ide
3. Peralatan budaya

Bila ciri kebudayaan itu kita letakan pada sastra dan kita kaitkan pula dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa nilai suatu sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri. Kesustraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagaimana juga dengan karya seni yang lain, sastra mempunyai fungsi social dan fungsi estetika.

Sastra Sebagai Sumber Nilai Bagi Masyarakat
Terdapat berbagai macam aliran dalam karya sastra, salah satunya adalah aliran realisme. Aliran tersebut memfokuskan karya sastra terhadap apa yang ada di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, aliran ini sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita.
Karya sastra yang menggunakan aliran ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan sosial bangsa Indonesia, terutama dalam hal pola pikir. Contohnya saja Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang mampu membuka pola pikir masyarakat kita yang sejak zaman dahulu mengenal budaya kawin paksa. Novel tersebut memberikan kesan kepada pembaca bahwa kawin paksa merupakan suatu hal yang negatif. Banyak hal-hal negatif yang muncul akibat proses kawin paksa. Dengan adanya novel tersebut pola pikir masyarakat cenderung berubah. Terutama dalam segi kehidupan berkeluarga. Hal tersebut bisa terjadi tergantung bagaimana kekuatan mempengaruhi yang ada di dalam karya sastra itu sendiri.
Selain novel di atas, Novel Belenggu juga merupakan salah satu novel yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Melalui novel tersebut, pengarang berusaha menyampaikan pesannya kepada pembaca bahwa di dalam menjalani hubungan kekeluargaan waktu dan perhatian bagi antar anggota keluarga sangat penting. Jika hal demikian tidak bisa terpenuhi, maka perpisahan adalah konsekuensinya. Dengan adanya novel tersebut, pola pikir masyarakat tentu akan terbangun. Masyarakat akan lebih mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada karya tersebut karena karya tersebut mengemukakan alasan dan konsekuensi yang kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Boulton (lewat Aminuddin, 2000:37) mengungkapkan bahwa karya sastra menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya. Di samping itu, sastra juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan dan kontemplasi batin, dari masalah agama, filsafat. Politik maupun macam-macam masalah kehidupan lainnya. Kandungan makna yang kompleks dan keindahan dalam karya asastra tergambar lewat media kebahasan atau aspek verbal. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa karya sastra mengandung berbagai unsur yang kompleks, yaitu:
1. Unsur keindahan.
2. Unsur kontemplatif.
3. Media pemaparan.
4. Unsur-unsur intrinsik yang menandai eksistensi karya sastra.

Karya Sastra Yang Timbul Akibat Perubahan Sosial Pada Masyarakat

Banyak dari karya sastra bangsa kita yang timbul setelah melihat keadaan yang ada pada saat itu. Karya-karya tersebut tentunya akan bersifat realisme. Pengarang berkesa menceritakan kondisi yang ada dengan bahasa yang ringan agar lebih mudah untuk dipahami. Karena jika tidak deminikan, m aka aka nada kesalahpahaman maksud antar pengarang dengan pembaca. Selain itu, untuk menjadikan karya sastra tersebut menarik, tentunya pengarang harus pintar-pintar dalam memilih kata dan mempermainkan unsure intrinsic yang ada di dalamnya.
“Tetralogi Buru” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah karya yang ia buat selama masa pembuangan di Pulau Buru. Seri novel yang mengisahkan tentang Minke itu merupakan karya yang dibuat atas dasar ilham pengarang pada saat melihat kondisi bangsa Indonesia kala itu. Kisah tersebut pada dasarnya adalah kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan di Buru karena tidak adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu berada di bawah sorotan dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat siksaan aparat) mendapat sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu sendiri tak pernah sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya. Karya Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat diselamatkan seperti banyak karya-karya Pram lainnya yang dibakar oleh tentara. Tetapi jasa-jasa orang asing seperti seorang pastor Jerman dan seorang warganegara Australia bernama Max Lane yang berhasil menyelundupkan keluar dan akhirnya menerbitkan Tetralogi Buru itu di luar negeri. Tak heran jika Pram pernah berkata, “Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia.”

Kesimpulan
Keterkaitan antara sastra, manusia, dan masyarakat sangat jelas, Keterkaitan semuanya terdapat di dalam segala aspek. Karena bagaimanapun juga sastra dan kehidupan sama-sama membahas dan membicarakan tentang manusia dan masyarakat. Bagi sastra, masyarakat merupakan faktor terpenting. Sedangkan Masyarakat merupakan objek vital bagi ilmu sosial. Semua hal itu saling mempengaruhi sikap masing-masing. Ketikan sastra telah mengemukakan sesuatu yang benar dalam rekaannya, sedikit banyak akan mempengaruhi sikap sosial dan ketika sosialitas terus berkembang.
Antara sastra dan Perubahan sosial masyarakat tidak ada yang paling menonjol. Dua hal tersebut saling mendukung. Sastra bisa timbul karena perubahan sosial masyarakat, bisa juga perubahan sosial yang ada akibat dari penciptaan sebuah karya sastra.

DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra; dari Strulturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sayuti, Suminto A. 2009. Cerkan. Jakarta: Universitas terbuka
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Teeuw, A. 2003. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Pentingnya Komunikasi yang Jelas

Posted: 14 Januari 2011 in Cerita Lucu

Salah satu alat pemersatu bangsa adalah bahasa. Karena dengan bahasa kita bisa saling berkomunikasi antara satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, beberapa tokoh menyebutkan bahwa salah satu fungsi bahasa adalah alat komunikasi. Dengan demikian, bahasa merupakan salah satu faktor terpenting dalam membangun sebuah komunikasi. Faktor lainnya adalah kejelasan maksud yang disampaikan.
Semisal ada seseorang berbicara: “Joko dibawa ke kantor polisi”. Kalimat tersebut tentu akan menimbulkan kebingungan bagi lawan bicara. Karena maksud kalimat tersebut belum jelas, Joko dibawa ke kantor polisi apakah sebagai tersangka atau sebagai saksi?
Ketidakjelasan dalam berkomunikasi atau menyampaikan informasi sangat fatal akibatnya. Sepertihalnya pada dua kutipan cerita dibawah ini:
Cerita pertama:
Pada pagi hari, Dimas diberikan sarapan sereal dan susu oleh ibunya. Kemudian Dimas ingin membagikan sereal itu kepada ikan-ikannya yang ada di dalam akuarium untuk dimakan. Tapi, beberapa saat sebelum ia memberikan sereal itu kepada ikan-ikannya, ibunya menegurnya.
“Dimas, jangan berikan sereal itu kepada ikan, nanti ikan-ikannya pada mati.”
Dimas sontak langsung kaget dan wajahnya berubah pucat. Kemudian ia bertanya kepada ibunya, “Lalu, kenapa ibu memberikan sereal itu kepadaku?”
“?@#??!&%?”

Cerita kedua:
Suatu hari Pemda kota Jogja melakukan operasi penertiban WTS. Tak lama kemudian, Petugas Pemda menemukan laki-laki hidung belang dan menciduknya.
Petugas Pemda: “Kamu akan saya bawa ke kantor. Ayo cepat!”
Laki-laki hidung belang: “Jangan, Pak. Saya disini Cuma mampir sebentar.”
Laki-laki itu tetap dipaksa dibawa ke kantor. Beberapa saat kemudian Petugas Pemda menemukan seorang WTS sedang duduk santai.
Petugas Pemda: “Kamu akan saya bawa ke kantor,” sambil menunjuk ke arah WTS tersebut.
WTS: “Hmm… Kalau saya sih, mau dibawa kemana saja oke, asalkan tarifnya cocok saja.”
“?@#??!&%?”

2010 in review

Posted: 9 Januari 2011 in Uncategorized

The stats helper monkeys at WordPress.com mulled over how this blog did in 2010, and here’s a high level summary of its overall blog health:

Healthy blog!

The Blog-Health-o-Meter™ reads Fresher than ever.

Crunchy numbers

Featured image

A Boeing 747-400 passenger jet can hold 416 passengers. This blog was viewed about 8,300 times in 2010. That’s about 20 full 747s.

In 2010, there were 23 new posts, growing the total archive of this blog to 26 posts. There were 30 pictures uploaded, taking up a total of 3mb. That’s about 3 pictures per month.

The busiest day of the year was November 3rd with 131 views. The most popular post that day was ANALISIS PENOKOHAN DAN ALUR PADA NOVEL-NOVEL INDONESIA.

Where did they come from?

The top referring sites in 2010 were google.co.id, search.conduit.com, commentportal.com, rezekimurah.com, and facebook.com.

Some visitors came searching, mostly for sinopsis novel jalan tak ada ujung, sinopsis jalan tak ada ujung, ac milan, novel jalan tak ada ujung, and sinopsis tak putus dirundung malang.

Attractions in 2010

These are the posts and pages that got the most views in 2010.

1

ANALISIS PENOKOHAN DAN ALUR PADA NOVEL-NOVEL INDONESIA July 2010

2

sinopsis novel JALAN TAK ADA UJUNG March 2010
5 comments

3

BIODATA SASTRAWAN** INDONESIA March 2010
1 Like on WordPress.com,

4

SINOPSIS NOVEL “TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG” March 2010
2 comments

5

ANALISIS NOVEL ‘PASAR’ KARYA KUNTOWIJOYO June 2010
3 comments and 1 Like on WordPress.com,

Ibu Tahu Rahasiaku (Puthut EA)

Posted: 1 Januari 2011 in cerpen
Tag:

Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.

Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.

Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya.

Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.

Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.

Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak.

Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.

Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku.

Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.

Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!

Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.

Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan.

Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.

Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.

Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”

Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.

Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.

Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.

Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.

Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.

Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya.

Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.

Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.

Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya tidak jalan lagi alias mati.

Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.

Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.

Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.

Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.

Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….”

Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?

“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi…. ***

CANDI RATU BOKO

Posted: 1 Januari 2011 in Budaya

candi-candiRatu Boko kemungkinan dibangun sekitar abad 9 M oleh Dinasti Syailendra, yang kelak mengambil alih Mataram Hindu. Sebagai sebuah monumen peninggalan zaman dahulu, Ratu Boko masih menyimpan misteri. Atribut-atribut yang terdapat di sini memang mengacu pada sebuah wilayah perkampungan. Tapi tetap saja para ahli masih sulit mengindentifikasikan, apakah ia merupakan taman kerajaan, istana, benteng, atau candi.
Ratu Boko memiliki 3 buah teras/ tingkat, yang masing-masing dipisahkan dengan dinding batu dan benteng. Untuk mencapai teras pertama, kita harus melewati sebuah gerbang besar yang dibangun dalam 2 tahap. Di sebelah barat teras ini terdapat sebuah benteng atau Candi Batu Kapur (Temple of Limestone). Dinamakan Candi Batu Kapur karena ia memang terbuat dari batu kapur. Jaraknya kira-kira 45 m dari gerbang pertama.
Teras kedua dan pertama dipisahkan oleh tembok andelit. Teras kedua ini dapat kita capai setelah melewati gerbang di paduraksa yang terdiri dari 3 pintu. Pintu yang lebih besar (Gerbang Utama) ada di tengah-tengah, diapit oleh dua buah gerbang yang lebih kecil.
Teras kedua dan ketiga di pisahkan oleh benteng batu kapur dan tembok andelit. Untuk masuk ke dalam teras ketiga, kita harus melewati 5 gerbang, dimana gerbang yang paling tengah lebih besar ukurannya bila dibandingkan dengan 4 gerbang lain yang mengapitnya.
Di teras ketiga (teras paling besar) lah terpusat sisa-sisa peninggalan. Di sini kita bisa menemukan antara lain Pendopo (Ruang Pertemuan). Pondasi pendopo ini berukuran panjang 20 m, lebar 20 m, dan tinggi 1,25 m, terletak di sebelah utara dari teras ini.
Candi Ratu Boko adalah suatu bangunan yang menurut anggapan para ahli sejarah memiliki multi fungsi yang terdiri dari beberapa komponen, yakni benteng keraton (istana) dan gua. Lokasi Keraton Ratu Boko dapat dicapai dari Yogyakarta melalui jalan raya Yogyakarta-Solo, kurang lebih pada Km 17 atau pertigaan Prambanan berbelok ke kanan sejauh + 3 Km.
Bangunan utama Situs Ratu Boko adalah peninggalan purbakala yang ditemukan kali pertama oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Wujudnya berupa bangunan seperti gapura utama, candi, kolam seluas 20 meter x 50 meter dengan kedalaman dua meter, gua, pagar dan alun-alun, candi pembakaran, serta paseban. Petilasan bangunan pendopo, balai-balai, tiga candi kecil, kolam, dan keputren terdapat di sebelah tenggara. Sedangkan gua Wadon, gua Lanang, dan beberapa gua lainnya, serta kolam dan arca Budha berada di sebelah timur.
HJ De Graaf mencatat berdasarkan berita dari para musafir Eropa yang sedang mengadakan perjalanan, di sebelah selatan Candi Prambanan terdapat situs kepurbakalaan. Sementara cerita yang berkembang di masyarakat setempat, Situs itu dihubungkan dengan Prabu Boko yang berasal dari Bali .
Tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Situs Ratu Boko. Penemuan itu langsung dipublikasikan. Rupanya, itu menarik minat ilmuwan Makenzic, Junghun, dan Brumun. Tahun 1814 mereka mengadakan kunjungan dan pencatatan. Seratus tahun kemudian, FDK Bosch mengadakan penelitian, dan penelitiannya diberi judul Kraton van Ratoe Boko .
Dari Situs itu sendiri ditemukan bukti tertua yang berangka tahun 792 Masehi berupa Prasasti Abhayagiriwihara. Prasasti itu menyebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono. Diperkirakan, dia adalah Rakai Panangkaran yang disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun 779 Masehi, Prasati Mantyasih 907 Masehi, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Rakai Panangkaran lah yang membangun candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Kalasan. Meski demikian Situs Ratu Boko masih diselimuti misteri. Belum diketahui kapan dibangun, oleh siapa, untuk apa, dan sebagainya. Orang hanya memperkirakan itu sebuah bangunan keraton. candi-candi
Menurut Prof. Buchari, seorang ahli sejarah, bangunan Keraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan. Konon Rakai Kayuwangi diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang merasa lebih berhak atas tahta daripada Rakai Pikatan, karena Rakai Pikatan hanyalah suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga yang beragama Budha. Dalam pertempuran tersbut Rakai Walaing berhasil dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan di sana. Namun pada akhirnya Keraton Boko dapat digempur dan diduduki Rakai Kayuwangi yang secara sengaja merusak prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing, dengan menghilangkan bagian yang memuat nama-nama ayah, kakek dan buyut Rakai Walaing.
Pemugaran Situs Ratu Boko dimulai sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1938. Usaha itu kemudian dilanjutkan pemerintah Indonesia sejak tahun 1952.
Keunikan Candi Boko
Berbeda dengan bangunan lain dari masa klasik Jawa Tengah, Situs Ratu Boko mempunyai karakter dan keistimewaan tersendiri. Tinggalan bangunan masa klasik Jawa Tengah pada umumnya berupa candi (bangunan suci/kuil), sedang peninggalan di Situs Ratu Boko menunjukkan tidak saja bangunan suci (candi), tetapi juga bangunan-bangunan lain yang bersifat profan. Sifat keprofanan tersebut ditunjukkan oleh adanya tinggalan yang dahulunya merupakan bangunan hunian dengan tiang dan atap yang dibuat dari bahan kayu , tetapi sekarang hanya tinggal bagian batur-baturnya saja yang terbuat dari bahan batu. Di samping bangunan-bangunan yang menunjukkan sifat sakral dan profan, di dalam Situs Ratu Boko ini juga ditemukan jenis-jenis bangunan lain, yaitu berupa kolam dan gua.
Ditinjau dari tata letaknya, bangunan-bangunan di Situs Ratu Boko dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu: kelompok Gapura Utama, kelompok Paseban, kelompok Pendapa, kelompok Keputren, dan kelompok Gua. Kelompok Gapura Utama terletak di sebelah barat yang terdiri dari Gapura Utama I dan II, talud, pagar, candi Pembakaran dan sisa-sisa reruntuhan. Kelompok Paseban terdiri dari batur Paseban dua buah, talud dan pagar Paseban. Kelompok Pendapa terdiri dari batur Pendapa dan Pringgitan yang dikelilingi pagar batu dengan tiga gapura sebagai pintu masuk, candi miniatur, serta beberapa kolam penampung air berbentuk bulat yang dikelilingi pagar lengkap dengan gapuranya. Kelompok Keputren berada di sebelah tenggara, terletak pada halaman yang lebih rendah dan terdiri dari dua batur, kolam segi empat, pagar dan gapura. Adapun kelompok Gua terdiri dari Gua Lanang dan Gua Wadon.

Bangunan-bangunan yang terdapat di Situs Kraton Ratu Boko
1. Kelompok pertama
Bangunan kelompok pertama ini terdiri atas 3 pintu gerbang yang saling berdekatan, membujur dari utara ke selatan. Pintu gerbang yang di tengah adalah yang terbesar dan merupakan pintu gerbang utama yang diapit oleh dua pintu gerbang lainnya yang disebut gerbang pengapit.
2. Kelompok kedua
Bangunan kelompok kedua terdiri dari 5 pintu gerbang, terdiri dari 4 gerbang pengapit dan satu gerbang utama yang terletak di tengah gerbang pengapit.
3. Kelompok Candi dari batu kapur
Candi ini berukuran 5 x 5 meter persegi dan dibuat dari batu kapur. Candi ini terletak di timur laut sekitar 45 meter dari pintu gerbang utama
4. Candi pembakaran
Candi pembakaran terletak di timur laut kira-kira 37 meter dari gerbang utama yang kedua.
5. Kelompok paseban
– Pendopo
– Istana pemandian
– Candi miniatur
6. Kelompok keputren
– Gua lanang
– Gua wadon

Misteri Ratu Boko yang Belum Terungkap
Walaupun begitu banyak dan beragamnya sisa-sisa bangunan ditemukan di sana, sampai sekarang fungsi Ratu Boko masih belum diketahui. Ada yang percaya bahwa bahwa Ratu Boko merupakan biara, atau sebuah tempat beristirahat dan rekreasi.
Prasasti-prasasti yang ditemukan pun agaknya sulit untuk dijadikan sebagai sumber untuk mengetahui fungsi candi yang satu ini. Tulisan-tulisan yang ditemukan di sana hanya menunjukkan bahwa Ratu Boko ada di masa antara abad ke-8-9. Prasasti yang berasal dari abad ke-8 umumnya berisi pendirian bangunan suci Buddha, sedangkan abad ke-9 berisi tentang pendirian bangunan suci Hindu sekali. Tapi karena tidak ada prasasti yang secara eksplisit menyebutkan fungsi dari setiap bangunan yang ada, maka Ratu Boko masih menjadi misteri sampai sekarang.candi

HARAPKU PADAMU, LEWAT SEPUCUK SURAT

Posted: 1 Januari 2011 in Curhat

Maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud melupakanmu. Aku sama sekali tidak pernah berniat menjauh darimu. Bahkan, ketika tanganMu membelaikupun aku masih sangat ingat, sungguh lembut, lembut selembut-lembutnya. Kini aku merindukan itu.
Aku pun sangat yakin kalau kau masih selalu ada buatku. Memang, sesekali aku kelewat batas pura-pura tidak mengenalmu, tapi sekali lagi aku tegaskan, aku tidak ingin semua ini terjadi. Aku hanya ingin bersamamu, berjalan melewati rute yang sengaja kau buat sebagai tantangan seberapa kuat rasa sayangku kepadaMu.
Ingatkah kau ketika pertama kali orang tuaku mengenalkanMu padaku. Meskipun dari awal aku mendekatiMu hanya karena ingin membahagiakan kedua orang tuaku, tapi sekarang aku sudah mencanduMu. Aku sakau tanpaMu. Aku tak sanggup jika harus pergi meninggalkanMu. Aku ingin selalu bersamaMu. Sekarang, satu-satunya yang kuharap adalah kau mau mendengarku, hanya itu.
Jika orang tuaku tahu kalau kini hubungan kita agak merenggang, aku akan menjadi anak yang paling durhaka. Tapi, jujur, aku merindukanMu kembali bukan karena orang tuaku. Aku merindumu dari hatiku yang terdalam. Aku yakin kau pun percaya padaku.
Disini, di kamar kecil—berbentuk persegi yang selalu menjadi tempatku mencurahkan rinduku yang kadang aku koar-koarkan ataupun hanya aku simpan dalam hati—aku ingin sekali mengingatMu selalu. Disini, di dunia—yang entah mana ujungnya, entah mana yang disebut baik dan buruk, entah mana yang layak disebut pintar dan mana yang bisa disebut bodoh—aku memohon padaMu, hembuskan nafas yang pernah kurasakan mendamaikan hatiku. Mesti kutahu aku tak bisa mengenalMu lebih dari kau mengenalku, tapi izinkanlah aku menyayangiMu lebih dari kau menyayangiku yang hanya seorang pengelana.
Sungguh. Aku hanya ingin menyayangiMu setulus hatiku. Aku tahu, banyak orang lain yang sayang kepadaMu, baik yang rasa sayangnya lebih besar dariku kepadaMu ataupun sebaliknya. Aku sama sekali tidak peduli. Rasa sayangku ini bukan rasa sayang untuk memiliki, tapi lebih kepada rasa sayang ingin selalu ada untukMu. Karena hanya kaulah tempatku mengharap, hanya kepadaMu.
Sekali lagi, izinkan aku untuk bisa berjalan di dalam rute yang memang telah kau tentukan untuk menggapai mimpi yang sama sekali belum kukenali. Karena hanya dengan izinMu aku mampu. Tolong rengkuh kembali ketika kuterjatuh, dan rangkul aku dengan tangan lembutmu. Aku akan selalu mengingatMu penuh, Ya Allah… InsyaAllah…