Arsip untuk Februari, 2010

kemenangan yang mematikan

Posted: 18 Februari 2010 in cerpen

Suasana ruangan yang syarat akan kemewahan sangat terasa mengisi setiap sudut dari dalam ruangan itu. Sesosok pria berpakaian mewah dan rapi berdiri disamping jendela yang terbuka lebar sembari memandang langit senja dengan matahari yang mulai terlihat memerah warna sinarnya. Laki-laki itu sesekali terlihat berjalan mondar-mandir disamping jendela dengan tempo perlahan tapi teratur. Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan itu.
“Permisi raja” Terdengar suara sesosok pria tua yang nampaknya telah berusia lebih dari setengah abad.
“Ya, silahkan masuk” Jawab laki-laki itu yang tak lain adalah seorang raja yang sangat diagungkan nampaknya.
“Saya mendengar kalau raja telah memutuskan untuk mengadakan peperangan dengan bangsa Saverus? Mengapa harus berperang? Apa tidak ada jalan lain yang bisa dinegosiasikan terlebih dahulu?” Tanya sosok pria tua yang biasa disebut dengan nama penasihat kerajaan.
“Raja, bangsa Saverus merupakan bangsa yang dikenal dengan pasukan perangnya yang sangat besar, dengan pasukan perang yang jumlahnya lebih sedikit dari pasukan mereka bangsa kita pasti akan kalah” Ungkap penasihat kerajaan menambahi.
“Tidak bisa! Aku tidak akan mencabut pernyataanku. Peperangan akan tetap terjadi, apa pun resikonya. Bangsa Saverus sudah melecehkan bangsa Nur, bangsa kita” Ungkap Thariq–raja muda dari bangsa Nur–dengan penuh keyakinan.
Suasana didalam ruang pertemuan heninga sesaat. Tak ada satu patah kata pun keluar dari mulut mereka berdua. Bahkan desah nafas penasihat kerajaan pun terdengar jelas karena tak ada sedikit pun suara lain yang menyainginya.
“Keputusanku sudah bulat. Suruh panglima Furqon untuk menyiapkan semua pasukan perang. Besok kita akan berperang. Kirim juga utusan untuk mengantarkan surat perlawanan terhadap bangsa Saverus” Ucap raja Thariq yang sebelumnya telah memikirkan matang-matang akan keputusannya itu.
***
Tak terlukiskan panasnya terik kala itu. Bertaburan meteor kuning keemasan berukuran mikro tertiup angin panas dan kerap menusuk matanya. Angin kembali berhembus menerpa keningnya yang penuh cucuran keringat semangat. Dari pandangan matanya, terlihat barisan pasukan lawan bertombak disisi belakang para panglima perang mereka yang gagah berani dengan masing-masing kuda mereka.
Seorang bertubuh besar dengan pakaian perang lengkap datang menghampiri Furqon. Disamping kanan pinggangnya terikat kencang sebilah pedang panjang dengan sarung yang masih membungkus. Terlihat jelas oleh Furqon terdapat tulisan kata Cornelius dari ujung atas sarung pedang seseorang yang menghampirinya itu. Mungkin tulisan itu mewakili namanya, tapi entahlah. Ia berdiri tegap tepat dihadapan Furqon seperti menantangnya. Tapi Furqon hanya bersikap tenang menganggap seseorang yang ada didepannya sepertihalnya anak kecil dengan sifat keluguannya yang kental. Diangkatnya tangan kiri seseorang itu sambil menunjuk ke arah Furqon.
Cornelius memilih Furqon sebagai tandingannya beradu pedang satu lawan satu. Salah satu teman seperjuangan Furqon tersenyum simpul, ia tahu benar siapa Furqon, dialah raja pengayun pedang dari bangsanya. Kecepatan dan ketepatan mengayunkan pedang tidak diragukan lagi olehnya.
Tanpa pikir panjang, Furqon turun dari kuda putihnya, lalu menciuminya. Baginya, Aswad–kuda perang Furqon–adalah teman sejak kecil dan merupakan satu-satunya peninggalan yang diberikan oleh ayahnya. Dengan langkah tegap dan kuat ia mendekati lawannya, Cornelius. Seketika mereka berusaha saling mengibaskan pedang ke arah lawan.
Furqon terlihat hanya menghindar dari setiap tebasan pedang Cornelius. Ia membiarkan Cornelius menyerangnya terlebih dahulu. Sementara ia hanya menghindarinya untuk menghemat tenaga. Setelah melihat Cornelius semakin melemah staminanya, barulah Furqon menyerangnya dengan kecepatan memainkan pedang yang dikuasainya. Berkali-kali ia berhasil melukai tubuh sintal Cornelius. Hingga pada akhirnya ia berhasil menusukkan pedang tajamnya ke bagian tengah dada Cornelius, lalu membiarkannya tergeletak tak berdaya, kemudian mati…
Hamparan gurun pasir luas menjadi saksi kematian Cornelius ditangan Furqon. Suara teriakan kemenangan Furqon menjadi awal peperangan sebenarnya. Pasukan lawan dengan jumlah lebih besar dari pasukan bangsa Nur berlarian menuju arah Furqon beserta pasukannya.
“Kita semua tidak boleh takut mati, karena mati bukan pilihan tapi merupakan jalan. Lalui jalan itu demi bangsa kita”, teriak Furqon untuk mengobarkan semangat juang pasukannya.
“Maju!”, teriak puluhan ribu pasukan bangsa Nur yang terbakar semangatnya dan bersiap melawan kekuatan pasukan lawan.
Dalam sekejap, perang tak terelakkan lagi. Puluhan ribu pasukan dari dua belah pihak menyatu dalam medan perang berupa hamparan gurun penuh pasir. Dengan teriakan dan semangat keras mereka berusaha saling menjatuhkan lawan hingga tak berdaya. Furqon yang berada di tengah mereka pun tidak bisa berhenti barang sedikit pun untuk mengayunkan pedang. Pasukan lawan silih berganti meyerangnya dengan sekuat tenaga mereka. Satu, dua, tiga, hingga puluhan jiwa lawan telah merasakan tebasan pedang Furqon. Satu persatu mereka tergeletak tak berdaya dengan berbagai luka disekujur tubuh mereka masing-masing. Ada yang terkena dibagian leher, perut, tangan, bahkan ada pula yang tertusuk tepat dibagian dadanya. Sangat kejam. Tapi seperti itulah peperangan, jika tidak membunuh maka terbunuh.
***
Furqon bukanlah seorang yang keras dan kejam. Semenjak kecil ia justru dikenal sebagai pribadi yang memiliki sifat sopan santun dan ramah tamah. Pribadinya mulai berubah setelah kematian tragis ayahnya di medan perang. Ia melihat dengan mata kepala sendiri jasad ayahnya yang tergeletak penuh luka tusukan dan tebasan pedang diantara ribuan jasad pasukan perang lainnya. Kematian ayahnya merupakan awal dari keinginannya untuk menjadi prajurit perang dan berjanji akan membinasahkan lawannya seperti apa yang pernah mereka lakukan terhadap ayahnya.
***
Matahari mulai lengser dari peraduannya. Cahaya terangnya mulai sayup, hingga menjadi kuning kemerah-merahan warnanya. Angin yang sesaat lalu terasa panas mulai dingin menusuk kulit kencang Furqon.
Peperangan belum juga bisa ditentukan siapa yang menang dan pihak mana yang kalah. Meski diselimuti malam yang gelap, kedua belah pihak tetap bersikukuh ingin menjadi yang terbaik dan bisa menguasai pihak yang kalah.
***
Malam menjadi semakin larut. Puluhan jiwa manusia tergeletak dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan ada pula yang terlihat hanya sebagian dari anggota tubuhnya. Cairan merah mengental menghiasi hamparan pasir yang beberapa saat lalu masih berwarna kuning keemasan. Pertempuran telah berakhir. Kemenangan yang menyisakan kepedihan berada di pundak Furqon. Hatinya luluh melihat puluhan ribu jasad manusia tergeletak. Dari mata bulatnya menetes air mata kesedihan. Ia teringat dua puluh tahun yang lalu dimana ia harus merelakan ayahnya menjadi salah satu korban keganasan sebuah peperangan.
Sejenak ia berdiri diantara puluhan ribu jasad manusia, kemudian menjatuhkan badan kekarnya menyungkur diatas gurun pasir yang telah berwarna merah. Diambilnya salah satu pedang yang tergeletak disamping jasad seseorang yang sudah terlihat tua usianya. Dipandanginya jasad orang tua yang mulutnya terbuka dengan dihiasi lumuran darah yang telah mengental itu. Ia kembali teringat akan kematian tragis ayahnya dengan kondisi mulut terbuka, sama seperti kematian orang tua itu. Ia lalu berteriak keras, kemudian menghunuskan pedang yang berada ditangannya dengan kuat kearah tepat di posisi jantungnya sendiri. Seketika ia mati dengan mulut terbuka dan berlumuran darah…

perang