A. Latar Belakang
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, bias disimpulkan bahwa sastra merupakan bagian dari penggambaran mengenai kehidupan yang nyata tentang manusia, masyarakat, alam, dan sebagainya. Selain itu, Atar Semi (1993:8) mengemukakan bahwa sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.
Salah satu jenis sastra adalah puisi. Perbedaan yang paling mencolok antara sastra jenis puisi dengan jenis lainnya adalah terletak pada bantuk tipografinya (Luxemburg, 1984). Samahalnya seperti sastra pada umumnya, puisi juga merupakan gambaran mengenai kehidupan nyata manusia. Akan tetapi, puisi tidak semata-mata persis dengan kehidupan nyata, karena proses penciptaan puisi dengan menggunakan media bahasa yang indah. Selain itu, peran pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra khususnya puisi juga sangat mempengaruhi jenis puisi yang disampaikan.
Dapat disimpulkan adanya keterkaitan yang sangat erat antar puisi, pengarag, dan kehidupan nyata. Dimana puisi berasal dari gambaran atau kritikan mengenai kehidupan nyata yang sebelumnya diproses melalui gaya bahasa yang digunakan pengarang.
Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra merupakan salah satu jenis puisi yang bertemakan mengenai kehidupan nyata pada zamannya. Puisi tersebut dibuat pada tahun 1973, sebagai gambaran mengenai keadaan Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru. Pada saat itu, bidang pertanian berkembang, akan tetapi perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan keadaan ekonomi dan kesejahteraan para petani.
WS Rendra pada tahun 1973, mencoba membidik kondisi yang ada pada saat itu, yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini dengan sajaknya yang sempat mengantarnya ke sel tahanan pada jaman rezim orde baru dan menjadi puisi wajib mahasiswa di era demontrasi tahun 80-an. Sajak burung-burung Kondor merupakan sebuah representasi dari semangat perubahan yang harus membentur batu-batu kemapanan.
B. Rumusan Masalah
1. Makna apakah yang terkandung pada Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra?
2. Apakah Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra merupakan gambaran mengenai keadaan Bangsa Indonesia pada tahun tersebut?
LANDASAN TEORI
PENDEKATAN
1. Pendekatan Struktural
Adapun salah satu pendekatan yang dipakai untuk menganalisis karya sastra adalah pendekatan struktural. Pendekatan Struktural adalah jenis pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Teeuw, melalui Wiyatmi, 2006: 89).
Karya sastra diciptakan tidak hanya berdasarkan satu unsur tertentu saja, melainkan gabungan dari beberapa unsur yang saling berkontribusi. Menurut Hill, (1966: 6), karya sastra merupakan sebuah unsur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) haruslah dianalisis terlebih dahulu. Artinya, untuk memahami arti/makna dari suatu karya sastra (puisi) bisa dengan menggunakan pendekatan struktural.
Pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, melalui Wiyatmi, 2006: 89).
2. Pendekatan Mimetik
Pendekatan Mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981).
Meskipun karya sastra merupakan tiruan dari kehidupan nyata, akan tetapi, tidak semua bagian dari kehidupan nyata mampu digambarkan. Dengan demikian, nilai karya sastra lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kehidupan yang nyata (Plato, dalam Luxemburg dkk, 1984).
PEMBAHASAN
Adapun puisi Sajak Burung-burung Kondor adalah sebagai berikut:
SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR (WS Rendra)
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Yogya, 1973
A. Analisis Struktural
Puisi tersebut menceritakan mengenai kehidupan para petani yang penuh ironi. Keadaaan tersebut digambarkan hampir pada keseluruhan isi puisi yang memang berobjekkan para petani. Seperti pada bait Kemudian hatinya pilu/ melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh/ yang terpacak di atas tanah gembur/ namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Keadaan tersebut menggambarkan keadaan petani di negara kita sangat memperihatinkan. Mereka bekerja sepenuh hati, tapi, hasil kerja keras mereka sama sekali tidak menjamin mereka hidup makmur. Selain itu, didukung pula oleh bait berikutnya yang berbunyi memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.
Karena puisi tersebut menceritakan kehidupan seorang petani, oleh karena itu, latar yang digunakan hanya berkisar pada persawahan dan pegunungan. Suasana yang tergambar pada puisi tersebut adalah suasana kesedihan atau kemirisan terhadap nasib para petani di Indonesia. Dijelaskan pada bait Penderitaan mengalir/ dari parit-parit wajah rakyatku.
Diksi pada puisi tersebut bersifat sederhana, pemilihan katanya berkesan seperti kata pada bahasa kita sehari-hari. Akan tetapi, kesederhanaan diksi yang dipakai tersebut kemudian tetap bersifat indah ketika dipadukan dengan pola persamaan bunyi, khususnya pada sajak akhir. Pola persamaan bunyi disini bersifat menjadikan baris demi baris di dalam puisi menjadi lebih memiliki ritme yang indah dan lebih dinamis.
Contohnya saja pada bait kedua Para tani – buruh bekerja,/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela,/ menanam bibit di tanah yang subur,/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur. Pola pada bait tersebut adalah a-a-b-b. Selain itu, fungsi lain dari pola persamaan bunyi adalah untuk menyelaraskan bunyi.
Adapun jenis persamaan yang lain adalah pada bait Burung-burung kondor menjerit./ Di dalam marah menjerit,/ bergema di tempat-tempat yang sepi./ Burung-burung kondor menjerit/ di batu-batu gunung menjerit/ bergema di tempat-tempat yang sepi. Akan tetapi, pola persamaannya berbeda dengan pola persamaan di atas. Pola persamaan kali ini merupakan sarana retoris jenis repetisi. Repetisi merupakan segala bentuk pengulangan, baik pengulangan kata maupun frase dalam baris yang sama, pada permulaan sejumlah baris, pada akhir baris, termasuk pula pengulangan seluruh atau sebagian bait puisi (Sayuti, 2008: 254).
Salah satu unsur lain yang mendominasi puisi tersebut adalah unsur citraan. Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, melalui Wiyatmi, 2006: 68). Adapun jenis-jenisnya adalah citraan penglihatan, pendengaran, rabaan, pencecapan, penciuman, dan gerak. Khusus pada puisi Sajak Burung-burung Kondor, citraan yang paling dominan adalah citraan penglihatan. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui kalimat permukaan kali yang luas, melihat jejak-jejak sedih para petani, yang terpacak di atas tanah, menanam bibit di tanah, memanen hasil yang berlimpah, keringat mereka menjadi emas, membetulkan letak dasi, dll. Jenis citraan lainnya yang juga mendominasi yaitu citraan gerak pada kalimat angin gunung turun merembes, penderitaan mengalir, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai dan citraan pendengaran pada kalimat mendapat hiburan dari sepi, burung-burung kondor menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi.
Unsur lain yang terdapat pada puisi tersebut adalah bahasa kias. Salah satunya adalah Majas Personifikasi. Personifikasi merupakan pemberian sifat-sifat manusia pada suatu hal (Sayuti, 2008: 254). Hal tersebut bisa dibuktikan pada kalimat akhirnya berumah di daun-daun. Artinya menyerupakan sifat angin yang berhembus seperti memiliki sifat manusia yang bisa memiliki tempat tinggal (berumah). Kemudian hatinya pilu. Artinya mejadikan angin yang bersifat mati menjadi seperti manusia yang bisa memiliki hati yang pilu.
B. Makna Puisi
– Bait pertama (dari “Angin gunung… sampai bagi penduduknya”): Maksud dari bait pertama adalah bahwa ada sebuah berita atau fakta yang memang terjadi pada keadaan para petani. Keadaan tersebut menggambarkan keadaan petani di negara kita sangat memperihatinkan. Mereka bekerja sepenuh hati, tapi, hasil kerja keras mereka sama sekali tidak menjamin mereka hidup makmur. Kata angin pada bait ini bisa diartikan sebuah pengetahuan atau informasi, “berumah di daun-daun tembakau artinya ada sebuah informasi yang memang sangat jelas tergambar mengenai kehidupan nyata seorang petani di negeri ini.
– Bait kedua (dari “Para tani… sampai sendiri sengsara”): pada beit kedua ini, kembali digambarkan kehidupan seorang buruh tani yang penuh ironi. Mereka memanen hasil dengan sukses, tapi kesuksesan itu tidak diperuntukkan bagi kehidupan mereka yang dibuktikan dengan kalimat “berumah di gubug-gubug tanpa jendela” dan “mereka sendiri sengsara”.
– Bait ketiga (dari “Mereka memanen… sampai mengirim kondom”): Maksudnya, bahwa kerja keras para petani hanya dinikmati oleh orang-orang kalangan atas (bos). Kerja keras mereka adalah harta karun bagi bangsa-bangsa penguasa (Eropa). Tidak ada keadilan bagi mereka, sekalipun mereka (petani) menginginkan keadilan, maka para pemimpin tidak pernah menggubrisnya. Justru bangsa-bangsa penguasa (Eropa) semakin membuat moral petani hancur dengan cara mengenalkan budaya jelek (main perempuan) mereka (Bangsa Eropa) kepada para petani kita.
– Bait keempat (dari “Penderitaan mengalir… sampai burung kondor”): Maksudnya, para rakyat kecil bangsa kita–khususnya petani—selalu mengalami penderitaan yang tiada hentinya. Dari pagi sampai sore mereka berusaha mati-matian untuk bekerja keras. Menoleh ke kiri dan ke kanan maksudnya mereka bekerja baik dengan cara benar ataupun salah. Di hari senja (tua) mereka menjadi seseorang yang sama sekali tidak dihargai. Ketika itulah mereka mulain terjatuh ke dasar jiwa yang paling buruk. Sehingga mereka (rakyat kecil) berubah menjadi pribadi yang jelek (burung kondor).
– Bait kelima (dari “Beribu-ribu… sampai sakit hati”): Maksudnya, orang-orang yang memiliki pribadi jelek tersebut kemudian mulai bertindak semaunya sendiri (berbuat kriminal, dsb) karena memang telah murka dengan perlakuan para penguasa-penguasa mereka.
– Bait keenam (dari “Burung-burung… sampai tempat-tempat yang sepi”): Maksudnya, mereka (orang-orang berkepribadian jelek/rakyat yang murka) kemudian mencapai puncak kemurkaan yang paling tinggi, yang kemudian berujung pada perbuatan melawan penguasa, dengan mengoar-koarkan tentang keadilan.
– Bait ketujuh (dari “Burung-burung… sampai tempat-tempat yang sepi”): Maksudnya, mereka (orang-orang berkepribadian jelek/rakyat yang murka) kemudian mencapai puncak kemurkaan yang paling tinggi, yang kemudian berujung pada perbuatan melawan penguasa, dengan mengoar-koarkan tentang keadilan.
– Bait terakhir (dari “Berjuta-juta burung… sampai bersiap menembaknya”): Maksudnya, orang-orang yang memiliki kepribadian jelek (rakyat kecil yang murka/burung kondor) semakin berbuat murka (melakukan tindakan criminal yang lebih kejam). Hingga kahirnya berujung menjadi sebuah terdakwa (musuh polisi/aparat berwenang) yang harus dihukum oleh aparat berwenang/hukum.
C. Pendekatan Mimetik
Sajak Burung-burung Kondor merupakan salah satu karya WS Rendra yang berisikan kritikan pedas terhadap pemerintahan pada waktu itu. Keseluruhan isi dari puisi tersebut adalah representasi dari keadaan Bangsa Indonesia pada waktu Soeharto berkuasa.
Pada tahun 1973, keadaan Indonesia terutama pada bidang perekonomian memang sedang mengalami perbaikan. Segala aspek yang berhubungan dengan perekonomian seperti menurunnya inflasi, naiknya pendapatan dari penjualan minyak bumi, naiknya minat kontraktor asing yang hendak menanamkan modal pada bidang perkebunan dan pertambangan di Indonesia.
Keadaaan tersebut kemudian mengakibatkan kenaikan pula pada bidang produksi pangan didorong oleh kebijakan intensifikasi penggunaan bibit unggul, pupuk, dan kredit murah, serta perluasan dinas penyuluhan. Para petani menjadi lebih mudah bertani dan hasil panen lebih melimpah dan terjamin. Akan tetapi, keadaan tersebut tetap saja tidak merubah keadaan para petani di Indonesia. Penghasilan mereka hanya berkisar rata-rata rakyat menengah kebawah. Keadaan tersebut kemudian sangat jelas digambarkan oleh Rendra melalui Puisi Sajak Burung-burung Kondornya, seperti pada bait Para tani – buruh bekerja,/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela,/ menanam bibit di tanah yang subur,/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.
Melalui puisi tersebut Rendra mencurahkan perasaannya melihat keadaaan para petani pada masa itu. Oleh karena itu, Rendra mencoba mengkritisi kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berujung pada ketidaksejahteraan para petani.
Rendra juga mengkritik perihal investor asing yang menanamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan ataupun pabrik-pabrik di Indonesia. Tanpa mengeluarkan keringat dan bersusah payah mereka bisa dengan mudah menikmati hasil kerja keras rakyat kecil di Indonesia, sementara rakyat kecil kurang begitu menikmati hasil kerja keras mereka. Seperti yang terdapat pada bait Mereka memanen untuk tuan tanah/ yang mempunyai istana indah.
KESIMPULAN
Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra bisa dianalisis menggunakan pendekatan struktural. Dengan pendekatan struktural itu pula kita dapat memahami apa makna/arti dari puisi tersebut. Dapat disimupulkan bahwa Puisi Sajak Burung-burung Kondor memiliki makna bahwa keadaan para petani pada waktu itu memang sangat memperihatinkan. Hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka yang hanya bermaksud menuntut keadilan kepada pemerintah justru mendapat perlawanan dan mendapat kecaman dari pihak yang berwajib. Nasib para petani tergantung para pemimpin yang mengaturnya.
Puisi Sajak Burung-burung Kondor juga merupakan representasi atau gambaran dari kehidupan nyata. Sajak tersebut dibuat pada tahun 1973, dimana pada saat itu keadaan para petani di Indonesia sangat memperihatinkan. Dengan demikian, analisis terhadap puisi tersebut bisa juga dengan menggunakan pendekatan mimetik.
DAFTAR PUSTAKA
• Pradopo, Rachmat djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
• Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
• Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.