Arsip untuk April, 2011

Soal Latihan Mata Kuliah Puisi

Posted: 9 April 2011 in Kuliah, sastra

1. Apa peran bunyi dalam puisi?
– Sebagai alat/sarana bagi pembaca untuk menunjukkan dan memperjelas efek-efek estetis, seperti rima dan ritme.
– Untuk membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca dan pendengarnya.
– Untuk memperjelas ekspresi dan membangun suasana yang terkandung dalam sebuah puisi.
– Membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu.
– Sebagai pembeda antara puisi dan prosa fiksi.

2. Rima/persajakan, dan klasifikasinya.
– Rima/persajakan adalah kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih, baik yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa perulangan bunyi-bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentang tertentu secara teratur.
– Pengklasifikasian persajakan meliputi: 1. Dari segi bunyi dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak mutlak, aliterasi dan asonansi. 2. Dari posisi kata yang mengandungnya dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir. 3. Dari segi hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.

3. Apa Asonansi dan Aliterasi?
– Asonansi adalah persamaan bunyi vokal yang jaraknya berdekatan.
– Aliterasi adalah persamaan bunyi konsonan yang jaraknya berdekatan.

4. Apa Efoni dan Kakofoni?
– Efoni adalah suatu kombinasi vokal-konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya.
– Kakofoni adalah sekelompok bunyi konsonan yang berfungsi memperlambat irama baris yang mengandungnya. Dengan kata lain, perpaduan bunyi-bunyi tersebut berfungsi menghalangi kelancaran ucapan.

5. Apa Onomatope?
– Onomatope adalah bunyi yang bertugas menirukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik.


A. Latar Belakang
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, bias disimpulkan bahwa sastra merupakan bagian dari penggambaran mengenai kehidupan yang nyata tentang manusia, masyarakat, alam, dan sebagainya. Selain itu, Atar Semi (1993:8) mengemukakan bahwa sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.
Salah satu jenis sastra adalah puisi. Perbedaan yang paling mencolok antara sastra jenis puisi dengan jenis lainnya adalah terletak pada bantuk tipografinya (Luxemburg, 1984). Samahalnya seperti sastra pada umumnya, puisi juga merupakan gambaran mengenai kehidupan nyata manusia. Akan tetapi, puisi tidak semata-mata persis dengan kehidupan nyata, karena proses penciptaan puisi dengan menggunakan media bahasa yang indah. Selain itu, peran pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra khususnya puisi juga sangat mempengaruhi jenis puisi yang disampaikan.
Dapat disimpulkan adanya keterkaitan yang sangat erat antar puisi, pengarag, dan kehidupan nyata. Dimana puisi berasal dari gambaran atau kritikan mengenai kehidupan nyata yang sebelumnya diproses melalui gaya bahasa yang digunakan pengarang.
Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra merupakan salah satu jenis puisi yang bertemakan mengenai kehidupan nyata pada zamannya. Puisi tersebut dibuat pada tahun 1973, sebagai gambaran mengenai keadaan Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru. Pada saat itu, bidang pertanian berkembang, akan tetapi perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan keadaan ekonomi dan kesejahteraan para petani.
WS Rendra pada tahun 1973, mencoba membidik kondisi yang ada pada saat itu, yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini dengan sajaknya yang sempat mengantarnya ke sel tahanan pada jaman rezim orde baru dan menjadi puisi wajib mahasiswa di era demontrasi tahun 80-an. Sajak burung-burung Kondor merupakan sebuah representasi dari semangat perubahan yang harus membentur batu-batu kemapanan.

B. Rumusan Masalah
1. Makna apakah yang terkandung pada Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra?
2. Apakah Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra merupakan gambaran mengenai keadaan Bangsa Indonesia pada tahun tersebut?

LANDASAN TEORI

PENDEKATAN
1. Pendekatan Struktural
Adapun salah satu pendekatan yang dipakai untuk menganalisis karya sastra adalah pendekatan struktural. Pendekatan Struktural adalah jenis pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Teeuw, melalui Wiyatmi, 2006: 89).
Karya sastra diciptakan tidak hanya berdasarkan satu unsur tertentu saja, melainkan gabungan dari beberapa unsur yang saling berkontribusi. Menurut Hill, (1966: 6), karya sastra merupakan sebuah unsur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) haruslah dianalisis terlebih dahulu. Artinya, untuk memahami arti/makna dari suatu karya sastra (puisi) bisa dengan menggunakan pendekatan struktural.
Pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, melalui Wiyatmi, 2006: 89).

2. Pendekatan Mimetik
Pendekatan Mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981).
Meskipun karya sastra merupakan tiruan dari kehidupan nyata, akan tetapi, tidak semua bagian dari kehidupan nyata mampu digambarkan. Dengan demikian, nilai karya sastra lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kehidupan yang nyata (Plato, dalam Luxemburg dkk, 1984).

PEMBAHASAN

Adapun puisi Sajak Burung-burung Kondor adalah sebagai berikut:
SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR (WS Rendra)
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Yogya, 1973

A. Analisis Struktural
Puisi tersebut menceritakan mengenai kehidupan para petani yang penuh ironi. Keadaaan tersebut digambarkan hampir pada keseluruhan isi puisi yang memang berobjekkan para petani. Seperti pada bait Kemudian hatinya pilu/ melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh/ yang terpacak di atas tanah gembur/ namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Keadaan tersebut menggambarkan keadaan petani di negara kita sangat memperihatinkan. Mereka bekerja sepenuh hati, tapi, hasil kerja keras mereka sama sekali tidak menjamin mereka hidup makmur. Selain itu, didukung pula oleh bait berikutnya yang berbunyi memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.
Karena puisi tersebut menceritakan kehidupan seorang petani, oleh karena itu, latar yang digunakan hanya berkisar pada persawahan dan pegunungan. Suasana yang tergambar pada puisi tersebut adalah suasana kesedihan atau kemirisan terhadap nasib para petani di Indonesia. Dijelaskan pada bait Penderitaan mengalir/ dari parit-parit wajah rakyatku.
Diksi pada puisi tersebut bersifat sederhana, pemilihan katanya berkesan seperti kata pada bahasa kita sehari-hari. Akan tetapi, kesederhanaan diksi yang dipakai tersebut kemudian tetap bersifat indah ketika dipadukan dengan pola persamaan bunyi, khususnya pada sajak akhir. Pola persamaan bunyi disini bersifat menjadikan baris demi baris di dalam puisi menjadi lebih memiliki ritme yang indah dan lebih dinamis.
Contohnya saja pada bait kedua Para tani – buruh bekerja,/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela,/ menanam bibit di tanah yang subur,/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur. Pola pada bait tersebut adalah a-a-b-b. Selain itu, fungsi lain dari pola persamaan bunyi adalah untuk menyelaraskan bunyi.
Adapun jenis persamaan yang lain adalah pada bait Burung-burung kondor menjerit./ Di dalam marah menjerit,/ bergema di tempat-tempat yang sepi./ Burung-burung kondor menjerit/ di batu-batu gunung menjerit/ bergema di tempat-tempat yang sepi. Akan tetapi, pola persamaannya berbeda dengan pola persamaan di atas. Pola persamaan kali ini merupakan sarana retoris jenis repetisi. Repetisi merupakan segala bentuk pengulangan, baik pengulangan kata maupun frase dalam baris yang sama, pada permulaan sejumlah baris, pada akhir baris, termasuk pula pengulangan seluruh atau sebagian bait puisi (Sayuti, 2008: 254).
Salah satu unsur lain yang mendominasi puisi tersebut adalah unsur citraan. Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, melalui Wiyatmi, 2006: 68). Adapun jenis-jenisnya adalah citraan penglihatan, pendengaran, rabaan, pencecapan, penciuman, dan gerak. Khusus pada puisi Sajak Burung-burung Kondor, citraan yang paling dominan adalah citraan penglihatan. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui kalimat permukaan kali yang luas, melihat jejak-jejak sedih para petani, yang terpacak di atas tanah, menanam bibit di tanah, memanen hasil yang berlimpah, keringat mereka menjadi emas, membetulkan letak dasi, dll. Jenis citraan lainnya yang juga mendominasi yaitu citraan gerak pada kalimat angin gunung turun merembes, penderitaan mengalir, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai dan citraan pendengaran pada kalimat mendapat hiburan dari sepi, burung-burung kondor menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi.
Unsur lain yang terdapat pada puisi tersebut adalah bahasa kias. Salah satunya adalah Majas Personifikasi. Personifikasi merupakan pemberian sifat-sifat manusia pada suatu hal (Sayuti, 2008: 254). Hal tersebut bisa dibuktikan pada kalimat akhirnya berumah di daun-daun. Artinya menyerupakan sifat angin yang berhembus seperti memiliki sifat manusia yang bisa memiliki tempat tinggal (berumah). Kemudian hatinya pilu. Artinya mejadikan angin yang bersifat mati menjadi seperti manusia yang bisa memiliki hati yang pilu.

B. Makna Puisi
– Bait pertama (dari “Angin gunung… sampai bagi penduduknya”): Maksud dari bait pertama adalah bahwa ada sebuah berita atau fakta yang memang terjadi pada keadaan para petani. Keadaan tersebut menggambarkan keadaan petani di negara kita sangat memperihatinkan. Mereka bekerja sepenuh hati, tapi, hasil kerja keras mereka sama sekali tidak menjamin mereka hidup makmur. Kata angin pada bait ini bisa diartikan sebuah pengetahuan atau informasi, “berumah di daun-daun tembakau artinya ada sebuah informasi yang memang sangat jelas tergambar mengenai kehidupan nyata seorang petani di negeri ini.
– Bait kedua (dari “Para tani… sampai sendiri sengsara”): pada beit kedua ini, kembali digambarkan kehidupan seorang buruh tani yang penuh ironi. Mereka memanen hasil dengan sukses, tapi kesuksesan itu tidak diperuntukkan bagi kehidupan mereka yang dibuktikan dengan kalimat “berumah di gubug-gubug tanpa jendela” dan “mereka sendiri sengsara”.
– Bait ketiga (dari “Mereka memanen… sampai mengirim kondom”): Maksudnya, bahwa kerja keras para petani hanya dinikmati oleh orang-orang kalangan atas (bos). Kerja keras mereka adalah harta karun bagi bangsa-bangsa penguasa (Eropa). Tidak ada keadilan bagi mereka, sekalipun mereka (petani) menginginkan keadilan, maka para pemimpin tidak pernah menggubrisnya. Justru bangsa-bangsa penguasa (Eropa) semakin membuat moral petani hancur dengan cara mengenalkan budaya jelek (main perempuan) mereka (Bangsa Eropa) kepada para petani kita.
– Bait keempat (dari “Penderitaan mengalir… sampai burung kondor”): Maksudnya, para rakyat kecil bangsa kita–khususnya petani—selalu mengalami penderitaan yang tiada hentinya. Dari pagi sampai sore mereka berusaha mati-matian untuk bekerja keras. Menoleh ke kiri dan ke kanan maksudnya mereka bekerja baik dengan cara benar ataupun salah. Di hari senja (tua) mereka menjadi seseorang yang sama sekali tidak dihargai. Ketika itulah mereka mulain terjatuh ke dasar jiwa yang paling buruk. Sehingga mereka (rakyat kecil) berubah menjadi pribadi yang jelek (burung kondor).
– Bait kelima (dari “Beribu-ribu… sampai sakit hati”): Maksudnya, orang-orang yang memiliki pribadi jelek tersebut kemudian mulai bertindak semaunya sendiri (berbuat kriminal, dsb) karena memang telah murka dengan perlakuan para penguasa-penguasa mereka.
– Bait keenam (dari “Burung-burung… sampai tempat-tempat yang sepi”): Maksudnya, mereka (orang-orang berkepribadian jelek/rakyat yang murka) kemudian mencapai puncak kemurkaan yang paling tinggi, yang kemudian berujung pada perbuatan melawan penguasa, dengan mengoar-koarkan tentang keadilan.
– Bait ketujuh (dari “Burung-burung… sampai tempat-tempat yang sepi”): Maksudnya, mereka (orang-orang berkepribadian jelek/rakyat yang murka) kemudian mencapai puncak kemurkaan yang paling tinggi, yang kemudian berujung pada perbuatan melawan penguasa, dengan mengoar-koarkan tentang keadilan.
– Bait terakhir (dari “Berjuta-juta burung… sampai bersiap menembaknya”): Maksudnya, orang-orang yang memiliki kepribadian jelek (rakyat kecil yang murka/burung kondor) semakin berbuat murka (melakukan tindakan criminal yang lebih kejam). Hingga kahirnya berujung menjadi sebuah terdakwa (musuh polisi/aparat berwenang) yang harus dihukum oleh aparat berwenang/hukum.

C. Pendekatan Mimetik
Sajak Burung-burung Kondor merupakan salah satu karya WS Rendra yang berisikan kritikan pedas terhadap pemerintahan pada waktu itu. Keseluruhan isi dari puisi tersebut adalah representasi dari keadaan Bangsa Indonesia pada waktu Soeharto berkuasa.
Pada tahun 1973, keadaan Indonesia terutama pada bidang perekonomian memang sedang mengalami perbaikan. Segala aspek yang berhubungan dengan perekonomian seperti menurunnya inflasi, naiknya pendapatan dari penjualan minyak bumi, naiknya minat kontraktor asing yang hendak menanamkan modal pada bidang perkebunan dan pertambangan di Indonesia.
Keadaaan tersebut kemudian mengakibatkan kenaikan pula pada bidang produksi pangan didorong oleh kebijakan intensifikasi penggunaan bibit unggul, pupuk, dan kredit murah, serta perluasan dinas penyuluhan. Para petani menjadi lebih mudah bertani dan hasil panen lebih melimpah dan terjamin. Akan tetapi, keadaan tersebut tetap saja tidak merubah keadaan para petani di Indonesia. Penghasilan mereka hanya berkisar rata-rata rakyat menengah kebawah. Keadaan tersebut kemudian sangat jelas digambarkan oleh Rendra melalui Puisi Sajak Burung-burung Kondornya, seperti pada bait Para tani – buruh bekerja,/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela,/ menanam bibit di tanah yang subur,/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.
Melalui puisi tersebut Rendra mencurahkan perasaannya melihat keadaaan para petani pada masa itu. Oleh karena itu, Rendra mencoba mengkritisi kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berujung pada ketidaksejahteraan para petani.
Rendra juga mengkritik perihal investor asing yang menanamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan ataupun pabrik-pabrik di Indonesia. Tanpa mengeluarkan keringat dan bersusah payah mereka bisa dengan mudah menikmati hasil kerja keras rakyat kecil di Indonesia, sementara rakyat kecil kurang begitu menikmati hasil kerja keras mereka. Seperti yang terdapat pada bait Mereka memanen untuk tuan tanah/ yang mempunyai istana indah.

KESIMPULAN
Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra bisa dianalisis menggunakan pendekatan struktural. Dengan pendekatan struktural itu pula kita dapat memahami apa makna/arti dari puisi tersebut. Dapat disimupulkan bahwa Puisi Sajak Burung-burung Kondor memiliki makna bahwa keadaan para petani pada waktu itu memang sangat memperihatinkan. Hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka yang hanya bermaksud menuntut keadilan kepada pemerintah justru mendapat perlawanan dan mendapat kecaman dari pihak yang berwajib. Nasib para petani tergantung para pemimpin yang mengaturnya.
Puisi Sajak Burung-burung Kondor juga merupakan representasi atau gambaran dari kehidupan nyata. Sajak tersebut dibuat pada tahun 1973, dimana pada saat itu keadaan para petani di Indonesia sangat memperihatinkan. Dengan demikian, analisis terhadap puisi tersebut bisa juga dengan menggunakan pendekatan mimetik.

DAFTAR PUSTAKA

• Pradopo, Rachmat djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
• Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
• Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.


ahmad tohariNovel Bekisar menceritakan mengenai kehidupan Masyarakat Karangsonga. Kesehariannya, mereka sebagian besar bekerja sebagai penderas Nira kelapa untuk dibuat gula merah. Oleh karena itu, mayoritas mereka adalah kalangan bawah yang hanya untuk makan saja susah.
Di dalamnya menceritakan pasangan suami istri bernama Darsa dan Lasiah yang harus menanggung kehidupan yang berat. Darsa yang penderes, beristerikan Lasi yang cantik dan berkulit putih, yang mempunyai nilai fisik di atas rata-rata isteri-isteri para penyadap lain. Ternyata Lasi merupakan keturunan campuran antara mbok Wiryaji dengan seorang tentara Jepang yang setelah pernikahannya, tidak pernah kembali ke desa dan hilang tidak tentu rimbanya-kabarnya ditahan Belanda.
Kemiskinan penduduknya sangat tergambar detil di dalam novel ini. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat artikulatif tentang alam pedesaan. Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu untuk menadah getah nira), ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumberdaya alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan mereka. Tidak ada alternatif untuk memperoleh keuntungan sedikit lebih, dengan ‘mencuri’ kayu sebagai bahan bakar membuat tengguli, bahan gula merah.
Adapun konflik pembuka dalam novel ini adalah masyarakat Karangsonga harus bertaruh nyawa ketika sedang memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira. Demikian juga nasib Darsa. Karena jatuh, yang dalam kebiasaan masyarakat disebut sebagai “kodok melompat” (pantang untuk menyebut jatuh dari pohon kelapa—sebagai pengingkaran rasa takut komunal), Darsa sempat menderita kelainan di sekitar alat reproduksinya, lemah pucuk. Dia pun, karena miskin, hanya dirawat oleh seorang dukun bayi, Bunek. Lasi dengan setia tetap menemani suaminya meski dalam kondisi lemah dan selalu ngompol. Lama kelamaan, karena pengobatan intensif yang dilakukan Bunek terutama pada sekitar selangkangan Darsa, diapun bisa pulih kembali. Pada malam “kebangkitan kembali” si Darsa, Bunek minta agar dicobakan pada Sipah, perawan tua anak Bunek sendiri. Darsa yang memang berada pada pilihan sulit akhirnya mau menerima tawaran itu. Hingga berujung pada kepergian Lasipah ke kota untuk meninggalkannya. Ia pun menikah dengan anak Bunek.
Cerita lalu banyak membedah batin Lasi. Sebagai perempuan desa yang cantik yang telah terbiasa hidup dengan segala kemiskinannya selama dua puluh empat tahun, secara tiba-tiba dihadapkan dengan norma-norma kehidupan kota besar yang amat sangat asing baginya. Dia yang ditampung sementara oleh ibu Koneng, pengelola warung tempat para sopir truk mampir yang juga menjadi tempat berpangkalnya para perempuan “pacar” para sopir truk, menyaksikan nilai-nilai sosial yang teramat sulit dipahami oleh seorang perempuan desa yang sederhana dengan tingkat pendidikan yang rendah. Misalnya, keintiman lelaki dan perempuan yang selama ini dipahami sebagai perilaku yang didasari oleh percikan jiwa dan cinta, di warung itu bisa terjadi dengan begitu gampang, oleh siapa saja, dengan dasar beberapa lembar uang kertas.
Singkat cerita, Lasi, yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan sebentuk cincin berlian. Para pejabat pemerintah saat itu diceritakan mempunyai kebiasaan mencari “pacar” atau isteri kesekian yang mempunyai wajah mirip orang Jepang. Ini akibat dari perilaku latah birokrat karena Pemimpin Besar-nya memasukkan seorang geisha ke istana dan akhirnya menjadi ibu negara. Klop sudah, dengan Lasi. Dia yang mempunyai wajah seorang perempuan Jepang, menjadi incaran para pejabat. Diapun lalu ditukar dengan sebuah mobil Mercedes dan beberapa puluh juta rupiah oleh ibu Lanting kepada Pak Handarbeni, seorang overste purnawira yang menjadi pejabat, berumur hampir enampuluh lima tahun, gemuk, dan sudah mempunyai dua isteri. Lasi-pun menjadi seekor bekisar yang menjadi pajangan di rumahnya yang baru dan mewah di Slipi. Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Biasanya jenis ayam ini untuk hiasan dalam kandang indah oleh para orang kaya.
Lasi, yang akhirnya dikawini Pak Handarbeni (perkawinan main-main menurut istilah Lasi), menikmati segala kemewahan materi yang tidak pernah terbayangkan oleh bekas seorang isteri penderes nira dari desa Karangsoga. Namun di balik segala kemewahan materi, penderitaan batin Lasipun amat berat. Dia merindukan desanya, emaknya, dan Kanjat, teman sepermainannya waktu sekolah yang sekarang sudah menjadi mahasiswa dan hampir lulus. Pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh lama dalam hidupnya membuat Lasi makin linglung karena berdiri di antara dua nilai kehidupan yang dipisahkan oleh jurang yang teramat dalam.


– Judul artikel : Menjelami Laoetan Kesoesteraan
– Penulis : Anggia Murnie
– Sumber artikel : Hal. 88 – 103
– Ringkasan Artikel :
Sepantun kembang mula mengorak. Demikianlah asal mula bahasa kesusastraan tumbuh di tanah air kita. Dalam masa itu dunia persurat kabaran sedikitnya telah dapat dibanggakan. Segi itulah yang berjasa dalam peristiwa ini, yaitu dalam menciptakan bahasa Indonesia. Kemudian mulai tumbuh persoalan ekonomi, sosial, politik. Akan tetapi yang terpokok dan terutama soal bahasalah yang lebih dimajukan.
Bahasa adalah suatu alat dan perkakas untuk mengeluarkan dan menyampaikan apa yang terasa dalam hati dan apa yang tergores dalam dada. Dari bahasa inilah keluarnya kesusastraan. Kesusastraan adalah seni bahasa. Sedangkan seni berarti keindahan dan kehalusan yang diciptakan oleh insani. Kesusastraan itu ada yang berupa puisi dan ada juga yang berupa prosa baik yang berupa sajak atau bukan. Perbandingan ahli-ahli sastra yang muncul dapat kita lihat seperti Surapaty, Hr. Bandaharo, Rifai Ali, A. hasjmy dll. Kemudian kesusastraan dipakai untuk memperbagus dan memperindah bahasa. Adapun yang menyematkan hikmat dan falsafat, semangat dan ketuhanan adalah tujuan dan maksud yang ke-2.

– Judul Artikel : Musyawarah Seniman dan Budayawan Islam
– Penulis : –
– Sumber Artikel : Hal. 475 – 480
– Ringkasan Artikel :
Musyawarah tersebut menghasilkan empat keputusan, yaitu 1) Wujud Kebudayaan, terdiri dari dua poin, yaitu pengertian Kebudayaan dan Kebudayaan Islam. 2) sikap Islam terhadap Kebudayaan dan Kesenian, berisikan tentang tujuan Kebudayaan dan Hukum Kesenian. 3) pendirian Budayawan/Seniman Islam Indonesia terhadap gerakan Kebudayaan/Kesenian, berisikan tekad Budayawan/Seniman terhadap gerakan Kebudayaan dan Kesenian. 4) Daftar Usaha-usaha memperkembang Kebudayaan/Kesenian, brisikan perihal tentang pendokumentasian dan registrasi, pemeliharaan Kebudayaan/Kesenian, presentasi (penghidupan) Kebudayaan/Kesenian, dan Kreasi-kreasi baru dalam bidang Kebudayaan/Kesenian.

– Judul Artikel : Buku-buku yang dilarang
– Penulis : Lukman Ali
– Sumber Artikel : Hal. 561 – 574
– Ringkasan Artikel :
Pada saat itu banyak pertanyaan dari guru-guru Bahasa Indonesia kepada Direktorat Bahasa dan Kesusastraan mengenai pelarangan buku-buku Kesusastraan Indonesia dalam bidang pengajaraan Kesusastraan. Dan terdapat beberapa penjelasan mengenai pertanyaan tersebut, 1) pada tgl 30 November 1965 Menteri Pendidika Dasar dan Kebudayaan mengeluarkan Instruksi pelarangan menggunakan buku karangan Ormas/Orpol yang di bekukan sementara masa kerjanya dan buku-buku karangan Ormas/Orpol ‘G 30 S’ yang bertemakan mental Ideologis. Tedapat 70 judul buku dan 87 nama yang dilarang. 2) pada bulan Maret 1967, di umumkan pula pelarangan buku-buku Luar negeri yang mengandung unsure Komunisme, Marxisme-Leninisme, Marxisme-Mao tse tung-isme. Terdapat 174 judul buku yang dilarang. 3) mulai bulan Juni 1966, buku-buku tersebut boleh dipakai dan dimiliki kembali asalkan tidak tidak bertentangan dengan Falsafah Pancasila.

– Judul Artikel : Peranan Balai Pustaka Dalam Perkembangan Bahasa Indonesia
– Penulis : Nur St. Iskandar
– Sumber Artikel : Hal. 5 – 14
– Ringkasan Artikel :
Balai Pustaka (volkslektuur) didirikan oleh Gubernur Hindia Belanda di Jakarta pada 1908. Tujuan di dirikannya yaitu agar orang Indonesia pandai membaca. Kemudian Balai pustaka membentuk Komissie Voor De Volkslektuur untuk memeriksa dan meneliti karya tulis yang di kirimkan tiap-tiap orang kepada Balai Pustaka. Komisi tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan pegawai Pemerintah Indonesia, komisi ini diketuai oleh kepala Balai Pustaka sendiri. Pada tahun 1920 Balai Pustaka menerbitkan majalah tentang Ilmu Pengetahuan dan Volksmanak yang diberi nama Sri Pustaka. Banyak juga tokoh Indonesia yang menyemarakkan penerbitan Balai Pustaka, seperti H. A. Salim, Dr. Soetomo, A. Moeis dan Muh. Yamin.

– Judul Artikel : Angkatan 45
– Penulis : Sitor Situmorang
– Sumber Artikel : Hal. 147 – 152
– Ringkasan Artikel :
Pada masa sebelum angkatan 45 di terima, angkatan 45 sangat di asingkan orang. Termasuk Jogaswara dan Armijn Pane, mereka bmenganggap bahwa Angkatan 45 tidak pernah ada. Jogaswara juga menyimpulkan bahwa Sastrawan Indonesia itu harus melahirkan kesusastraan-kesusastraan yang Demokratis. Oleh karenanya penulis membandingkan konsepsi seni menurut Affandi dan Chairil Anwar. Konsepsi Affandi yaitu bahwa seni merupakan Humanisme (diri merupakan satu dengan sekelilingnya). Sedangkan Chairil Anwar beranggapan bahwa seni itu Human-Dignity (kesadaran persatuan yang menitik beratkan pada diri sendiri). Kemudian penulis membandingkan Angkatan Chairil Anwar dengan Angkatan Takdir. Angkatan Chairil Anwar tidak mempunyai Pandangan hidup tetapi menunjukan sikap hidup. Sedangkan Angakatan Takdir mempunyai pandangan hidup, bahwa sastra merupakan warisan dari zaman dahulu. Angkatan Chairil Anwar merupakan angkatan pencipta bukan angkatan yang hanya menerima.

– Judul Artikel : Fragmen keadaan III
– Penulis : Asrul Sani
– Sumber Artikel : Hal. 210 – 215
– Ringkasan Artikel :
Pada ecara pertemuan di Tugu, Asrul Sani ditanya mengenai isi Angkatan 45 dan perbedeaannya dengan Angkatan Pujangga Baru. Asrul Sani merasa tidak layak berbicara mengenai hal tersebut karena perkataannya mungkin bersifat menurut kehendak sendiri. Kemudian muncullah perbandingan antar Angkatan 33 dan Angkatan 45. Pergeseran dari Angkatan 33 dan 45 adalah karena Idealisme palsu, Sentimentalisme, dan pandangan yang berbeda. Angkatan 45 menganggap Angkatan 33 bukan merupakan kesustraan karena keterbatasan dalam hal tokohnya. Kekurangan pada Angkatan 33 bukan merupakn pembeda dengan Angkatan 45, akan tetapi merupakan sebuah ciri/tipe tersendiri.

– Judul Artikel : Roman Pitjisan
– Penulis : Tamar Djaja
– Sumber Artikel : Hal. 304 – 312
– Ringkasan Artikel :
Orang yang pertama kali menggunakan kata Pitjisan adalah Parada Harahap. Kala itu terjadi perselisihan antara Harahap dan Ratu Mona, sehingga Harahap mengecap Ratu Mona sebagai pengarang kodian dan karangan-karangannya di cap sebagai Roman Pitjisan tidak berharga. Kenapa roman tersebut bisa disebut sebagai Roman Pitjisan, karena : 1) karena cerita tersebut merupakan cerita pendek yang diperpanjang. 2) Isinya tidak begitu padat dan sangat dangkal. 3) Di karang dengan tergesa-gesa. 4) Tebalnya rata-rata hanya 80 halaman. 5) Ceritanya tidak tentu arah, tujuan dan isinya tidak jelas. Roman pertama kali tenrbit di Medan “Dunia Pengalaman” di bawah pimpinan A. Damhari dan Jsuf Souyb, diterbitkan oleh “Pustaka Islam”. Kemudian karya tersebut mendapat kritikan dari sk. “pemandangan” karena cerita Roman Pergaulan terlalu melebih-lebihkan akibat dari penyakit Syphilis yang ditulis dalam roman tersebut. Juga mendapat reaksi dari Perti, yaitu akan membakar buku tersebut, membacakan Qunut bagi orang yang bersangkutan dengan buku tersebut dan mengadukan buku tersebut kepada Resident Padang.

– Judul Artikel : INDONISASI TJILIWUNG 1
– Penulis : Mh. Rustandi Kartakusuma
– Sumber Artikel : Hal. 393 – 399
– Ringkasan Artikel :
Pada tahun 1930 lahirlah Angkatan Pujangga Baru. Semboyan mereka yaitu, “Kita harus Dinamis! Tradisi kita telah usang dan lapuk! Kita harus menggantinya dengan cara hidup baru”. Mereka mengusung Budaya barat sebagai dasar kesustraan mereka. Diantaranya yaitu Takdir. Dan tokoh yang kontra dengan pemahaman itu adalah Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Akan tetapi Takdir bersikukuh akan pandangannya bahwa kesustraan Indonesia harus meniru Budaya Barat, terutama Belanda. Karena pemikiran yang seperi itulah Angkatan Pujuangga Baru tidak bertahan lama yang kemudia timbul Angkatan 45, yang di usung Chairil Anwar dkk, dengan pandangan bahwa kesustraan Indonesia harus menjadi kesustraan Internasionalisme.

– Judul artikel : Jagat Jawa Seharusnya di Tulis dalam Bahasa Jawa
– Penulis : Soebagio Satrowardoyo
– Sumber artikel : Hal. 835-855
– Ringkasan Isi Artikel :

Pada periode ini banyak Sastrawan berpindah kepengarangannya dari penggunaan bahasa daerah secara mutlak menuju penggunaan bahasa Indonesia. Dapat pula di simpulkan bahwa seorang pengarang meninggalkan bahasa daerahnya dan menulis di dalam bahasa Indonesia di karenakan dua hal : yang pertama, dalam lingkup kehidupan/kepekgarangannya Ia sudah tidak terbiasa menggungakan bahasa daerah semisal bahasa jawa. Sedangkan yang kedua, agar karyanya bisa di nikmati secara luas oleh semua pihak, dari pada ia mengarang dalam bahasa daerah.
Dengan demikian ke-2 alasan pokok tersebut mempunyai pijakan untuk membicarakan soal pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra jawa serta penunjangya. Sedangkan lingkup Indonesia merupakan lingkup kesustraan yang bisa menerima kesustraan lain dari berbagai daerah. Dengan mempertimbangkan luas public yang terbatas yang mengenal bahasa jawa, menjadi maklum bahwa timbul keinginan pada pengarang jawa untuk beralih ke bahasa Indonesia.
Masalah yang akan di hadapi oleh pengarang daerah yang berpindah gaya bahasanya yaitu karyanya agak susah di terima. Seperti halnya puisi linus yang berjudul Pariyem, di dalamnya tidak hanya menggambarkan dunia batin yang terdapat pada seorang wanita jawa, tetapi juga membicarakan lingkungan masyarakat jawa dengan adat istiadat yang ada di dalamnya.

– Judul Artikel : NOVEL-NOVEL POPULER INDONESIA
– Penulis : Jacob Sumardjo
– Sumber Artikel : Hal. 668 – 687
– Ringkasan Artikel :
Pada masa itu terbit empat buku yang misinya membicarakan mengenai Novel-novel di Indonnesia. Buku tersebut yaitu Ikhtisar Sejarah Sastra Indonnesia (Ajip Rosidi), Pokok dan Tokoh (A.Teeuw), Perkembangan Novel-novel Indonesia (Umar Jenus) dan Sejarah Sastra Indonesia Modern (Bakrie Siregar). Pada masa itu pula terhitung 650 buku yang masuk ke Balai Pustaka, termasuk Novel picisan yang sangat banyak terbitnya. Akan tetapi buku tersebut kurang di minati karena harga buku yang sangat mahal dan isinya terlalu vulgar. Juga di karenakan karena proses penerbitannya yang terburu-buru dan tidak mementingkan kualitas buku itu sendiri. Novel-novel yang sangat di gemari pada masa ini yaitu novel yang bertemakan silat, oleh karenanya lebih banyak laki-laki yang antusias membacanya tinggi. Dan dalam tiap-tiap buku yang bertemakan silat tokoh utamanya selalu laki-laki. Akan tetapi pada tahun 1972 terjadi Revolusi, muncul sebuah buku karya Marga.T yang berjudul ‘Karmila’, yang di dalam buku tersebut tokoh utamanya adalah seorang perempuan.