Archive for the ‘sastra’ Category


Tahajjud Cinta
Emha Ainun Nadjib (Ainun) dilahirkan di Mentro, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada Rabu Legi 27 Mei 1953 sebagai putera ke-4 dari 15 bersaudara, dari suami istri H. A. Lathif dan Halimah. Riwayat pendidikannya acak-acakan: setamat sekolah dasar di desanya ia melanjutkan studi di Pondok Modern Gontor. Pada 1968 setelah mathrud (diusir) dari Pondok Modern Gontor, ia menempuh ujian di SMP Muhammadiyah IV Yogyakarta, lalu melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di sekolah ini ia sempat keluar lalu masuk lagi sampai tamat. Kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi UGM, tetapi hanya selama 4 bulan. Secara formal, ia berhenti studi, tapi ia tidak berhenti menuntut ilmu. Dengan berbekal kemampuan bahasa Inggris dan Arab, ia banyak membaca dan menguak mengenai kitab kuning dan referensi-referensi para sarjana Barat.
Ainun pernah bekerja sebagai wartawan dan redaktur (seni budaya, kriminalitas, dan universitaria) harian Masa Kini Yogyakarta selama 3 tahun, menjadi redaktur tamu di harian Bernas selama 3 bulan. Selain, itu ia pernah menolak tawaran dari salah satu majalah terkemuka negeri ini maski dengan tawaran yang menggiurkan. Termasuk juga tawaran dari Jakarta, ia tolak. Karena tidak pernah memikirkan perihal karir, istrinya (Suryaningsih) pernah meminta cerai meskipun telah memiliki anak (Mawa Damar Panuluh). Ia lalu menduda dengan alasan: “Mungkin karena perkawinan adalah dunia yang amat serius, meskipun kita bisa jalani dengan tertawa dan pura-pura tidak stress, atau mungkin karena saya beklum cukup tahu ‘nasib perkawinan’ yang akan saya jalani.”
Hingga penelitian ini dilakukan, Ainun tinggal di rumah kontrakan di bilangan Paatangpuluhan, sebuah rumah sederhana dan wingit. Dari rumah kontrakan itu paling tidak 6 tulisan lahir selama seminggu dan secara rutin dimuat di Surabaya Post, Jawa Post, Berita Nasional, Yogya Post, suara Merdeka, dan Suara Karya. Tulisannya yang menggigit dan bernada humor dimuat di Tempo, Kompas, Suara Pembangunan, Kedaulatan Rakyat, Salam, Amanah, Panji Masyarakat, Kiblat, Matra, dan sebagainya. Bentuk tulisannya meliputi puisi, artikel sastra budaya, cerpen, naskah drama dan lain-lain.
Ainun pernah mengikuti berbagai kegiatan di luar negeri seperti International Program Writing di Lowa City Amerika Serikat (1981), Workshop teater di PETA Philipina, International Poetry Reading di Rotterdam Belanda (1984), Festival Horizonte III di Berlin Barat (1985), dan mengembara di beberapa negara Eropa selama satu setengah tahun lebih.
Penghasilan Ainun dimanifestasikan untuk menciptakan lapangan kerja melalui Bengkel Motor Markesot di Yogya, peternakan ayam di jalan Kaliurang, dan beberapa bentuk kegiatan di Jombang. Serta mengelola dua yayasan yaitu Yayasan Pengembangan Masyarakat Al Muhammadi dan Yayasan Ababil.
Karya-karya Ainun meliputi M. Frustasi di terbitkan dalam bentuk sederhana sekali pada 1975 oleh Pabrik Tulisan, Sajak-sajak Sepanjang Jalan memenangkan sayembara penulisan puisi Tifa Sastra UI tahun 1977, Tak Mati-mati dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada tahun 1978, Tuhan Aku Berguru KepadaMu dipuisi-musikkan bersama Teater Dinasti di TIM pada 1980, 99 untuk Tuhanku dibacakan di Bentara Budaya Yogyakarta pada 1982, Nyanyian Gelandangan dibacakan bersama Gruo Musik Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta 1982, Isra’ Mi’raj yang Asyik dibacakan di UGM Yogyakarta pada tahun 1986. Selain itu masih banyak lagi, antara lain Kanvas (belum terbit), Syair Istirah (Masyarakat Poetika Indonesia, 1986), Tidur yang Panjang (belum terbit), Syair-syair Indonesia Raya (belum terbit), Syair Perubahan (belum terbit), Cahaya Maha Cahaya (LP3S, 1988 dan Pustaka Firdaus 1991), Suluk Pesisiran (Mizan, 1988), Lautan Jilbab (Yayasan Al Muhammady, 1989 dan SIPRESS, 1991), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Mizan, 1991), Imam Perubahan (belum terbit), Minuman Keras Nasibku (belum terbit), Syair-syair Asmaul Khusna (belum terbit), Syair Lembu (belum terbit).
Kumpulan cerpen Ainun diterbitkan oleh SIPRESS yang berjudul Yang Terhormat Nama Saya. Naskah dramanya yang berjudul Geger Wing Ngoyak Macan pernah dipentaskan di beberapa kota bersama Teater Dinasti. Naskah drama lainnya yaitu Lautan Jilbab yang merupakan saduran dari puisinya. Naskah-naskah drama lainnya yaitu Sidang Para Setan (1977), Patung Kekasih (1983), Calon Drs. Mul (1984), Mas Dukun (1986), Keajaiban Lik Par (1987), Mas Kanjeng (1990), Santri-santri Khidir (1991), dan Perahu Retak (1991).
Sebagai seorang penulis esei, untuk pertama kalinya Ainun mengumpulkan sejumlah eseinya dalam Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (Jatayu, 1983). Kumpulan esei ini berisikan 29 karya Ainun tentang sosio-budaya dengan diberi pengantar oleh YB Mangunwijaya dan ditambah tulisan Hadjid Hamzah tentang Ainun. Karya esei Ainun yan lain adalah Sastra yang Membebaskan (1985), Dari pojok Sejarah; Renungan Perjalanan (1986), Ikut Tidak Lemah Ikut Tidak Melemahkan (1986), Gerakan Punakawan (1991), dan Slilit Sang Kyai (1992).

Sumber: Jabrohim. 2003. Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib; Sebuah Kajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Novel The Woman at Point Zero (Perempuan Di titik Nol) karya Nawal el-Saadawi menceritakan tentang kehidupan Firdaus—seorang perempuan Mesir yang kuat. Kuat dalam artian berani mengatasi rasa takut yang selalu membelenggu kehidupannya.
Dalam Novel ini, paham dekonstruksi yang diterapkan di dalam novelnya adalah ketika ia (pengarang) mampu menjadikan seorang perempuan menjadi sosok yang melawan kekuasaan dari kaum adam. Padahal pandangan yang sudah menjadi konvensi masyarakat pada umumnya menganggap bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah.
Melalui tokoh utama dalam novel ini, pengarang berusaha melawan konvensi-konvensi yang mengakar dalam pola pikir masyarakat. Perlawanan tersebut ditunjukkan pengarang melalui beberapa konflik yang terjadi di dalam sebuah cerita. Misalkan saja pada peristiwa dimana tokoh utama (seorang pelacur) sangat selektif untuk menentukan teman kencannya. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan realita yang ada, dimana seorang pelacur akan dengan mudah menerima laki-laki manapun asalkan dengan tarif yang memuaskan.
Nawal el-Saadawi memberikan asumsi baru bagi para penikmat sastra bahwa perempuanpun mampu menciptakan kondisi dimana mereka berperan sebagai penguasa. Dengan kata lain, faham dekonstruksi feminisme sangat kental terdapat di dalam novel tersebut. Melalui tokoh utamanya pulalah pengarang mengaplikasikan faham Derrida mengenai pertentangannya terhadap teori Saussure yang menganggap hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti (Eagleton, 1983:128). Pengarang menganggap bahwa perempuan tidak hanya bermakna seseorang yang lemah dan tidak berdaya, melainkan banyak makna-makna lain yang sifatnya lebih luas. Seperti yang digambarkan pada pernyataan tokoh utama bahwa dia (tokoh utama) tidak pernah percaya akan makhluk yang disebut laki-laki. Seperti ungkapan Derrida bahwa tidak ada meaning dan hirarki di dalam bahasa yang diyakini tetap sebagai tetap melainkan terus berubah dan tidak tertentukan (undecidables) (Dorbolo, 2004).
Adapun konflik lain yang menggambarkan paham dekonstruksi adalah ketika pengarang menggambarkan posisi tokoh utama. Seorang pelacur yang dianggap rendah oleh masyarakat, justru harkat mereka dinaikkan oleh pengarang melalui pernyataan:
Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu, saya menyadari, bahwa sebagai pelacur saya telah dipandang dengan lebih hormat, dan dihargai lebih tinggi daripada semua karyawan perempuan, termasuk saya.
(“Perempuan di Titik Nol” hal. 109)
Melalui tokoh utama yang terdapat di dalam Novel Perempuan di Titik Nol, pengarang berusaha menggambarkan kekuatan seorang perempuan. Dari seorang perempuan pelacur, semua kebusukkan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Mesir dan penguasanya terungkap.
Dari beberapa paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dianggap rendah oleh masyarakat melalui segala bentuk konvensinya, dapat menjadi pahlawan yang mampu mengungkap segala kebusukkan terjadi dalam kehidupan masyarakat Mesir dan penguasanya. Artinya, makna yang sudah diwakili sebuah perlambang mengenai suatu hal tidaklah pasti, melainkan masih sangat bergantung dari interpretasi individu-individu tertentu.


Abstrak
Makalah ini membahas mengenai perbandingan antara dua karya berbeda jenis, yaitu Novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El-Saadawi dengan Film “Jamila dan Sang Presiden” yang memiliki banyak kemiripan dari segi alur konfliknya. Tujuan analisis kedua karya tersebut adalah untuk mengetahui sejauh mana kemiripan dan mengetahui hubungan keterkaitan antara kedua karya tersebut. Caranya yaitu dengan memahami isi kedua karya tersebut, kemudian menganalisis titik mirip keduanya secara keseluruhan dan bagian-bagian tertentu. Kemiripan yang paling sering dijumpai diantara dua karya tersebut adalah dalam hal alur konfliknya. Dari mulai permulaan konflik yang digambarkan hampir sama, lalu konflik utama dan konflik pendukung yang sama, serta penyelesaian konflik yang juga relatif sama. Akan tetapi, kesamaan tersebut bukan merupakan persamaan yang diambil secara langsung, karena faktor analogi. Meskipun tidak menutup kemungkinan kalau Film “Jamila dan Sang Presiden” bisa saja terinspirasi dari Novel “Prempuan di Titik Nol” yang lebih dulu diciptakan.

PEDAHULUAN
Karya sastra lahir akibat adanya proses kreatif seorang pengarang dalam menanggapi keadaan di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra terkadang dapat mewakili kehidupan yang nyata. Adapun salah satu definisi sastra menurut Wellek dan Warren via Wiyatmi (2006: 14) karya sastra merupakan karya imajinatif. Sedangkan Atar Semi (1993:8) mengemukakan bahwa sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.
Karya sastra, apa pun jenis atau genre-nya, yang lahir dari tangan kreatif pengarang, pada dasarnya selalu berada di tengah-tengah konteks atau tradisi kebudayaannya. Atau dengan kata lain, bagaimanapun karya sastra tidak lahir dari situasi kosong budaya (Teeuw, 1980:11). Proses kreatif pengarang sendiri sangat besar pengaruhnya dalam pembuatan karya sastra. Biografi pengarang, keadaan sosial pengarang, kondisi psikologi pengarang, pandangan hidup pengarang, dan sebagainya akan mempengaruhi arah karya sastranya akan dikemanakan. Karena pengarang berperan sebagai penyampai pesan kepada pembaca melalui karyanya. Kondisi tersebut menjadikan perbedaan tanggapan tiap-tiap pengarang dalam memahami sumber objeknya (kehidupan nyata). Akan tetapi, dapat pula terjadi kesamaan sifat karya sastra dari hasil kreatif pengarangnya sehingga terkadang pengarang yang satu memiliki hubungan secara langsung dengan karya pengarang lainnya.
Disiplin ilmu yang membandingkan antara dua karya yang setidak-tidaknya relatif mirip adalah sastra perbandingan. Ada banyak pendapat para ahli dalam merumuskan teori mengenai sastra perbandingan. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra universal.
Menurut Holman, sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya. Hal senada dikemukakan Remak yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sastra perbandingan adalah ilmu yang studi sastra yang membandingkan antara dua buah karya dari dua wilayah berbeda guna menemukan hubungan terkait konteksnya.

METODE PENELITIAN
Objek penelitian pada makalah ini adalah dua buah karya yang berbeda jenis, yaitu membandingkan antara Novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El-Saadawi dengan Film “Jamila dan Sang Presiden.”
Faktor yang melatarbelakangi dibandingkannya antara dua karya tersebut adalah karena keduanya memiliki kesamaan dalam segi alur ceritanya. Terlebih karakter budaya bangsa tempat dimana dua karya tersebut dilahirkan relatif sama, mayoritas beragama islam. Novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El-Saadawi dari Mesir sedangkan Film “Jamila dan Sang Presiden” dari Indonesia. Selain itu, Indonesia dan Mesir juga termasuk ke dalam pengelompokkan bangsa yang sama, yaitu bangsa yang masih dalam taraf berkembang. Kondisi itulah yang menjadi faktor utama dalam menentukan persamaan sifat antara kedua karya tersebut.
Metode yang digunakan pada makalah ini adalah metode kualitatif induktif, yaitu dengan cara mengetahui dan memahami keseluruhan ceritanya. Setelah itu barulah ditentukan titik kemiripan antara dua karya tersebut. Selanjutnya menentukan sebuah kesimpulan hubungan antara keduanya.

PEMBAHASAN
Sinopsis Novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawal El-Saadawi
Novel The Woman at Point Zero (Perempuan Di titik Nol) menceritakan tentang kehidupan Firdaus—seorang perempuan Mesir yang kuat. Kuat dalam artian berani mengatasi rasa takut yang selalu membelenggu kehidupannya.
Berawal dari kisah keluarganya yang hidup sederhana bahkan terkadang kekurangan dalam hal materi. Keadaan seperti itulah yang kemudian memaksa mereka berfikir menurut tuntutan kehidupan. Ayahnya tidak segan berbuat kasar terhadapnya. Oleh karena itu, ia lebih cenderung dekat dengan pamannya. Akan tetapi, keadaan seperti semakin menjadikan semuanya serba mengherankan. Pamannya yang seorang pelajar di El-Azhar Kairo terkadang berbuat semena-mena terhadapnya (Menjamahi tubuh mulus Firdaus).
Selang berjalannya waktu, Firdaus ikut bersama pamannya. Ia diasuh dan dijamin masa depannya oleh pamannya di Kairo. Hal itu berlangsung sampai ia lulus sekolah menengah. Setelah itu, ia dijodohkan dengan seorang Syeikh (Mahmoud) kenalan pamannya. Ia menjadi istri seorang Syeikh tua berumur enampuluhan tahun. Ia mulai merasa tidak betah tinggal bersama suaminya yang juga bersikap keras terhadapnya. Ia lalu kabur tak tentu arah.
Setelah itu ia bertemu dengan Bayoumi. Bayoumi terlihat sangat ramah padanya. Terlebih ketika ia (Firdaus) diajak untuk ikut bersamanya sampai ia memperoleh pekerjaan. Akan tetapi, nasib malang kembali menimpanya setelah ia tahu bahwa Bayoumi tidak lebih dari bajingan yang menginginkan tubuhnya. Bahkan, Bayoumi menjual tubuh Firdaus kepada temannya. Kemudian ia pergi dari jeratan Bayoumi dan teman-temannya.
Di setiap kepergiannya, ia selalu memilih ke sebuah jalan raya yang ia anggap sebagai tempat teraman. Dan di tempat itulah ia kemudian bertemu dengan Sharifa (pelacur yang berpengalaman). Dari situlah kehidupan Firdaus mulai terasa nyaman meskipun pada akhirnya ia menjadi seorang pelacur dibawah naungan Sharifah. Ia mulai benar-benar mengenal siapa itu laki-laki dan bagaimana gerak geriknya. Sehingga reputasinya menjadi seorang pelcur semakin meningkat.
Waktu terus berputar, Firdaus pun sudah tidak lagi melacurkan tubuhnya. Ia mulai bekerja sebagai karyawan di sebuah perkantoran. Kehidupannya mulai stabil. Di tempat itu, ia mulai menemukan seseorang yang ia cintai, Ibrahim namanya. Awalnya, cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun, terdengar kabar bahwa Ibrahim sudah bertunangan dengan putrid direktur dan menghilang entah kemana.
Empat tahun kemudian ia bertemu dengan Ibrahim yang sudah menjadi istri orang lain. akan tetapi, Ibrahim ternyata tidak jauh berbeda dengan laki-laki yang pernah ia kenal. Ia kini menganggap bahwa Firdaus adalah seorang pelacur. Setelah itu, Firdaus kembali menjadi seorang pelacur. Karirnya sebagai pelacur kembali meningkat. Pada saat itu ia hanya menerima berkencan dengan orang-orang tertentu saja.
Datangnya Marzouk (seorang germo) mengusik ketenangan hidupnya. Posisi Marzouk disini samahalnya dengan Sharifah, menjual tubuh Firdaus untuk kepentingannya sendiri. Hingga pada suatu hari Firdus bersitegang dengan Marzouk dan membunuhnya dengan kejam.
Setelah kejadian itu, ia bertemu dengan seorang Pangeran Arab yang juga hanya menginginkan tubuhnya. Setelah memuaskan nafsu si pangeran, Firduas mencelakainya. Firdaus kemudian di penjara. Ia mendapat ancaman hukuman mati. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak meresa takut atupun menyesal. Justru ia bangga pada dirinya, karena sudah menaklukan keberanian terbesar dalam hidupnya, yaitu melawan ketakutannya sendiri.

Sinopsis Film “Jamila dan Sang Presiden”
Film Jamila dan Presiden menceritakan mengenai kehidupan seorang pelacur. Jamila namanya. Ia merupakan korban human trafficking. Ia sudah dijual oleh orang tuanya sendiri kepada keluarga kaya ketika masih berumur dua tahun. Mulai dari situlah ia pertama kali diperkosa. Karena keberaniannya melawan ketertindasan, Jamila memutuskan untuk membunuh yang memerkosanya lalu kabur.
Selang beberapa waktu, ia mulai menjadi PSK setelah diajak Susi (PSK yang baik). Kehidupannya mulai mapan. Setelah itu, ia mengenal seorang pejabat negara (menteri), Nurdin namanya. Karena Jamila memiliki banyak kelebihan, ia pun diberikan perlakuan khusus oleh Nurdin. Apapun yang Jamila minta pasti dipenuhi olehnya. Akan tetapi, perlakuan khusus itu berujung menyakitkan. Setelah menghamili Jamila, Nurdin menikah (dinikahkan) dengan perempuan lain. Kondisi tersebut memicu Jamila untuk balas dendam mengganggu kehidupan Nurdin. Sampai pada akhirnya dengan tidak sengaja, Jamila membunuh Nurdin dengan pistol.
Karena mengalami tekanan batin yang kuat, Jamila mengakui telah membunuh Nurdin. Ia dituntut hukuman mati oleh pengadilan. Dari dalam penjara ia bercerita panjang lebar mengenai liku-liku kehidupannya kepada kepala sipir penjara dan Ibrahim (orang yang mencintainya). Berbagai cara Ibrahim lakukan untuk meringankan hukuman yang diterima Jamila. Akan tetapi, semua usaha itu sia-sia saja. Jamilah tetap dihukum mati.

Identifikasi Titik Mirip
Untuk menghindari ketidakfokusan dalam meneliti, perlu diadakannya batasan permasalahan yang dibahas. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini meliputi 1) tema, 2) alur, 3) penokohan. Melalui pembahasan mengenai titik mirip itulah kemudian ditafsirkan sejauh mana tingkat kemiripan antara Novel “Perempuan di Titik Nol” (PTN) dengan Film “Jamila dan Sang Presiden” (JSP).
1. Tema
Tema yang disajikan oleh Novel PTN dengan Film JSP dapat dikatakan sama persis. Keduanya membicarakan mengenai liku-liku hidup seorang pelacur tegar, seperti yang telah digambarkan melalui kutipan sinopsis diatas.
Kedua cerita tersebut setidaknya mengandung aliran feminisme, dimana posisi perempuan (tokoh utama) sangat diagungkan meskipun di wilayah yang salah (pelacur). Kedua pengarang menganggap bahwa pelacur tidak semuanya jelek. Karena adapula pelacur yang memang dari dia dilahirkan sudah dijerumuskan oleh lingkungan ke dalam dunia pelacuran seperti Firdaus dalam PTN dan Jamila dalam JSP.
Pengarang mencoba melawan tanggapan masyarakat pada umumnya mengenai pelacur. Kedua pengarang menganggap pelacurpun bisa berbuat baik dan benar, bahkan tidak jarang dari mereka yang berbuat bak seorang pahlawan. Oleh sebab itulah, kedua pengarang ingin memberikan pencerahan baru terhadap pandangan masyarakat yang selalu jelek menilai pelacur.
2. Alur
Alur cerita yang disajikan kedua karya tersebut relatif sama. Dari mulai pengenalan konfliknya, inti konfliknya, sampai penyelesaiannya. Dari segi kesamaan alur ceritanya lah yang kemudian menimbulkan tanggapan bahwa mungkin Film JSP bersumber dari Novel PTN. Pada Novel PTN, ceritanya dibuka dengan cerita nyata seorang dokter yang tersentuh untuk mengenal lebih jauh tentang tokoh utama (Firdaus). Sedangkan pada Film JSP ceritanya dibuka dengan kegiatan Human Trafficking oleh sekumpulan orang. Memang sangat jauh berbeda kalau dari segi pembukaan ceritanya. Akan tetapi, pada bagian pengenalan konfliknya, kedua karya sama-sama memaparkan kehidupan semasa kecil tokoh utamanya yang kelam.
Kedua karya sama-sama menjelaskan bahwa semasa kecilnya kedua tokoh utama sama-sama harus berpisah dengan ibu kandungnya, meskipun alasnannya berbeda. Pada Novel PTN, Firdaus harus berpisah dengan ibunya karena ia harus tinggal bersama pamannya ke kota. Sedangkan Jamila dalam JSP harus berpisah dengan ibunya supaya terhindar dari kasus penjualan manusia, sehingga ia pun akhirnya hidup dengan keluarga lain. Setelah itu, kedua tokoh utamanya sama-sama mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari lingkungan terdekatnya. Firdaus menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya. Seperti pada kutipan cerita di bawah ini:
“saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya… sampai paha”
(“Perempuan di Titik Nol” hal. 20)
Sedangkan Jamila mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh oleh majikan dan anaknya lewat adegan bagaimana pantat Jamila diremas oleh majikannya ketika ia sedang menuangkan minuman ke dalam gelas majikannya. Tidak hanya itu, adapula adegan dimana Jamila diperkosa oleh anak majikannya.
Pada bagian konflik intinya, Novel PTN memaparkan kehidupan Firdaus yang semakin tidak jelas. Ia seperti selalu dimangsa kebengisan kaum pria yang hanya ingin menikmati tubuhnya. Meskipun demikian, ia selalu tegar sehingga kehidupannya berangsur membaik. Ia mulai menikmati kehidupannya sebagai seorang pelacur kelas atas. Hingga pada akhirnya ia terlibat kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap orang penting. Ia pun harus menerima hukuman seberat-beratnya.
Begitu pula pada Film JSP yang juga mengandung konflik ini dimana tokoh utamanya (Jamila) mulai menikmati kehidupan melacurnya. Kehidupannya semakin membaik ketika ia bertemu dengan Nurdin (seorang menteri). Ia pun dijanjikan segala hal oleh Nurdin. Akan tetapi, karena satu faktor, Jamila secara tidak sengaja membunuh Nurdin. Akhirnya ia pun dihukum seberat-beratnya, hukuman mati.
Pada penyelesaian konfliknya, kedua karya tersebut masih memiliki kesamaan. Jamilah dan Firdaus sama-sama tidak pernah menyesali atas apa yang pernah ia perbuat dan sama-sama dihukum mati.
“Sekarang saya sedang menunggu mereka. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput saya (untuk dieksekusi).”
(“Perempuan di Titik Nol” hal. 148)
Dapat disimpulkan dari data di atas, bahwa dari segi alur cerita dan konflik yang terkandung di dalamnya, Novel PTN dan Film JSP memiliki kesamaan. Tingkat kesamaannya pun bahkan mengindikasikan bahwa Novel PTN menginspirasi adanya Film JSP.

3. Penokohan
Novel PTN menggambarkan mengenai kekuatan batin seorang pelacur. Istilah pelacur sendiri dianggap sangat hina oleh masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat akan selalu menganggap bahwa mereka sendiri lebih mulia dari para palacur. Akan tetapi, ada penafsiran yang sangat berbeda dengan penafsiran terhadap pelacur pada umumnya. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu, saya menyadari, bahwa sebagai pelacur saya telah dipandang dengan lebih hormat, dan dihargai lebih tinggi daripada semua karyawan perempuan, termasuk saya.
(“Perempuan di Titik Nol” hal. 109)
Kondisi teresbut tentunya bermula dari penafsiran pengarang yang digambarkan melalui watak tokoh utamanya. Dari sisi itu, pelacur merasa tidak lebih rendah dari orang-orang pada umumnya, sementara di sisi lain, orang-orang menganggap bahwa pelacur berada pada tingkat dasar kehormatan yang dimiliki manusia.
Di dalam Film JSP juga terdapat adegan kalau tokoh utama (Jamila) sama sekali tidak merasa malu dan rendah hati menjadi seorang pelacur. Bahkan ia bersikap seperti bangga terhadap profesinya itu.
Penggambaran fisik tokoh utama dari Novel PTN dan Film JSP pun memiliki kesamaan. Seperti yang tercantum dalam kutipan di bawah ini:
“saya menemukan bahwa saya memiliki mata yang hitam, dengan kerlingan yang menarik mata lainnya seperti besi berani, dan bahwa hidung saya bukan besar, bukan pula bulat, tetapi penuh dan haus dengan kepadatan perasaan yang dapat berubah menjadi nafsu. Tubuh saya langsing, paha saya tegang, hidup dengan otot…”
(“Perempuan di Titik Nol” hal. 78)

KESIMPULAN
Dari beberapa fakta yang dihasilkan melalui pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: a) Novel PTN dan Film JSP memiliki kesamaan dari segi tema ceritanya, b) alur cerita yang dipaparkan oleh Novel PTN dan Film JSP memiliki kemiripan dari mulai pengenalan konflik, klimaks konflik, serta penyelesaian konfliknya, c) kemiripan lainnya yang sangat jelas terlihat yaitu dari segi perwatakan tokoh di antara kedua karya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
El-Saadawi, Nawal. 2010. Perempuan Di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Film Jamila dan Presiden, 2009.
Mahayana, Maman S. 2009. Sastra Bandingan: Pintu Masuk Kajian Budaya, Studi Kasus Romeo dan Julia, Sonezaki Shinju, Uda dan Dara. http://www.fib.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=151:sastrabandingan catid=39:artikel-ilmiah&Itemid=122&lang=. Diakses pada tanggal 10 Januari 2012.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Soal Latihan Mata Kuliah Puisi

Posted: 9 April 2011 in Kuliah, sastra

1. Apa peran bunyi dalam puisi?
– Sebagai alat/sarana bagi pembaca untuk menunjukkan dan memperjelas efek-efek estetis, seperti rima dan ritme.
– Untuk membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca dan pendengarnya.
– Untuk memperjelas ekspresi dan membangun suasana yang terkandung dalam sebuah puisi.
– Membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu.
– Sebagai pembeda antara puisi dan prosa fiksi.

2. Rima/persajakan, dan klasifikasinya.
– Rima/persajakan adalah kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih, baik yang berposisi di akhir kata, maupun yang berupa perulangan bunyi-bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentang tertentu secara teratur.
– Pengklasifikasian persajakan meliputi: 1. Dari segi bunyi dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak mutlak, aliterasi dan asonansi. 2. Dari posisi kata yang mengandungnya dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir. 3. Dari segi hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.

3. Apa Asonansi dan Aliterasi?
– Asonansi adalah persamaan bunyi vokal yang jaraknya berdekatan.
– Aliterasi adalah persamaan bunyi konsonan yang jaraknya berdekatan.

4. Apa Efoni dan Kakofoni?
– Efoni adalah suatu kombinasi vokal-konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti, dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya.
– Kakofoni adalah sekelompok bunyi konsonan yang berfungsi memperlambat irama baris yang mengandungnya. Dengan kata lain, perpaduan bunyi-bunyi tersebut berfungsi menghalangi kelancaran ucapan.

5. Apa Onomatope?
– Onomatope adalah bunyi yang bertugas menirukan bunyi dari bunyi sebenarnya dalam arti mimetik.


A. Latar Belakang
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, bias disimpulkan bahwa sastra merupakan bagian dari penggambaran mengenai kehidupan yang nyata tentang manusia, masyarakat, alam, dan sebagainya. Selain itu, Atar Semi (1993:8) mengemukakan bahwa sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.
Salah satu jenis sastra adalah puisi. Perbedaan yang paling mencolok antara sastra jenis puisi dengan jenis lainnya adalah terletak pada bantuk tipografinya (Luxemburg, 1984). Samahalnya seperti sastra pada umumnya, puisi juga merupakan gambaran mengenai kehidupan nyata manusia. Akan tetapi, puisi tidak semata-mata persis dengan kehidupan nyata, karena proses penciptaan puisi dengan menggunakan media bahasa yang indah. Selain itu, peran pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra khususnya puisi juga sangat mempengaruhi jenis puisi yang disampaikan.
Dapat disimpulkan adanya keterkaitan yang sangat erat antar puisi, pengarag, dan kehidupan nyata. Dimana puisi berasal dari gambaran atau kritikan mengenai kehidupan nyata yang sebelumnya diproses melalui gaya bahasa yang digunakan pengarang.
Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra merupakan salah satu jenis puisi yang bertemakan mengenai kehidupan nyata pada zamannya. Puisi tersebut dibuat pada tahun 1973, sebagai gambaran mengenai keadaan Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru. Pada saat itu, bidang pertanian berkembang, akan tetapi perkembangan tersebut tidak dibarengi dengan keadaan ekonomi dan kesejahteraan para petani.
WS Rendra pada tahun 1973, mencoba membidik kondisi yang ada pada saat itu, yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini dengan sajaknya yang sempat mengantarnya ke sel tahanan pada jaman rezim orde baru dan menjadi puisi wajib mahasiswa di era demontrasi tahun 80-an. Sajak burung-burung Kondor merupakan sebuah representasi dari semangat perubahan yang harus membentur batu-batu kemapanan.

B. Rumusan Masalah
1. Makna apakah yang terkandung pada Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra?
2. Apakah Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra merupakan gambaran mengenai keadaan Bangsa Indonesia pada tahun tersebut?

LANDASAN TEORI

PENDEKATAN
1. Pendekatan Struktural
Adapun salah satu pendekatan yang dipakai untuk menganalisis karya sastra adalah pendekatan struktural. Pendekatan Struktural adalah jenis pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Teeuw, melalui Wiyatmi, 2006: 89).
Karya sastra diciptakan tidak hanya berdasarkan satu unsur tertentu saja, melainkan gabungan dari beberapa unsur yang saling berkontribusi. Menurut Hill, (1966: 6), karya sastra merupakan sebuah unsur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) haruslah dianalisis terlebih dahulu. Artinya, untuk memahami arti/makna dari suatu karya sastra (puisi) bisa dengan menggunakan pendekatan struktural.
Pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, melalui Wiyatmi, 2006: 89).

2. Pendekatan Mimetik
Pendekatan Mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981).
Meskipun karya sastra merupakan tiruan dari kehidupan nyata, akan tetapi, tidak semua bagian dari kehidupan nyata mampu digambarkan. Dengan demikian, nilai karya sastra lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kehidupan yang nyata (Plato, dalam Luxemburg dkk, 1984).

PEMBAHASAN

Adapun puisi Sajak Burung-burung Kondor adalah sebagai berikut:
SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR (WS Rendra)
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Yogya, 1973

A. Analisis Struktural
Puisi tersebut menceritakan mengenai kehidupan para petani yang penuh ironi. Keadaaan tersebut digambarkan hampir pada keseluruhan isi puisi yang memang berobjekkan para petani. Seperti pada bait Kemudian hatinya pilu/ melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh/ yang terpacak di atas tanah gembur/ namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Keadaan tersebut menggambarkan keadaan petani di negara kita sangat memperihatinkan. Mereka bekerja sepenuh hati, tapi, hasil kerja keras mereka sama sekali tidak menjamin mereka hidup makmur. Selain itu, didukung pula oleh bait berikutnya yang berbunyi memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.
Karena puisi tersebut menceritakan kehidupan seorang petani, oleh karena itu, latar yang digunakan hanya berkisar pada persawahan dan pegunungan. Suasana yang tergambar pada puisi tersebut adalah suasana kesedihan atau kemirisan terhadap nasib para petani di Indonesia. Dijelaskan pada bait Penderitaan mengalir/ dari parit-parit wajah rakyatku.
Diksi pada puisi tersebut bersifat sederhana, pemilihan katanya berkesan seperti kata pada bahasa kita sehari-hari. Akan tetapi, kesederhanaan diksi yang dipakai tersebut kemudian tetap bersifat indah ketika dipadukan dengan pola persamaan bunyi, khususnya pada sajak akhir. Pola persamaan bunyi disini bersifat menjadikan baris demi baris di dalam puisi menjadi lebih memiliki ritme yang indah dan lebih dinamis.
Contohnya saja pada bait kedua Para tani – buruh bekerja,/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela,/ menanam bibit di tanah yang subur,/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur. Pola pada bait tersebut adalah a-a-b-b. Selain itu, fungsi lain dari pola persamaan bunyi adalah untuk menyelaraskan bunyi.
Adapun jenis persamaan yang lain adalah pada bait Burung-burung kondor menjerit./ Di dalam marah menjerit,/ bergema di tempat-tempat yang sepi./ Burung-burung kondor menjerit/ di batu-batu gunung menjerit/ bergema di tempat-tempat yang sepi. Akan tetapi, pola persamaannya berbeda dengan pola persamaan di atas. Pola persamaan kali ini merupakan sarana retoris jenis repetisi. Repetisi merupakan segala bentuk pengulangan, baik pengulangan kata maupun frase dalam baris yang sama, pada permulaan sejumlah baris, pada akhir baris, termasuk pula pengulangan seluruh atau sebagian bait puisi (Sayuti, 2008: 254).
Salah satu unsur lain yang mendominasi puisi tersebut adalah unsur citraan. Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, melalui Wiyatmi, 2006: 68). Adapun jenis-jenisnya adalah citraan penglihatan, pendengaran, rabaan, pencecapan, penciuman, dan gerak. Khusus pada puisi Sajak Burung-burung Kondor, citraan yang paling dominan adalah citraan penglihatan. Hal tersebut bisa dibuktikan melalui kalimat permukaan kali yang luas, melihat jejak-jejak sedih para petani, yang terpacak di atas tanah, menanam bibit di tanah, memanen hasil yang berlimpah, keringat mereka menjadi emas, membetulkan letak dasi, dll. Jenis citraan lainnya yang juga mendominasi yaitu citraan gerak pada kalimat angin gunung turun merembes, penderitaan mengalir, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai dan citraan pendengaran pada kalimat mendapat hiburan dari sepi, burung-burung kondor menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi.
Unsur lain yang terdapat pada puisi tersebut adalah bahasa kias. Salah satunya adalah Majas Personifikasi. Personifikasi merupakan pemberian sifat-sifat manusia pada suatu hal (Sayuti, 2008: 254). Hal tersebut bisa dibuktikan pada kalimat akhirnya berumah di daun-daun. Artinya menyerupakan sifat angin yang berhembus seperti memiliki sifat manusia yang bisa memiliki tempat tinggal (berumah). Kemudian hatinya pilu. Artinya mejadikan angin yang bersifat mati menjadi seperti manusia yang bisa memiliki hati yang pilu.

B. Makna Puisi
– Bait pertama (dari “Angin gunung… sampai bagi penduduknya”): Maksud dari bait pertama adalah bahwa ada sebuah berita atau fakta yang memang terjadi pada keadaan para petani. Keadaan tersebut menggambarkan keadaan petani di negara kita sangat memperihatinkan. Mereka bekerja sepenuh hati, tapi, hasil kerja keras mereka sama sekali tidak menjamin mereka hidup makmur. Kata angin pada bait ini bisa diartikan sebuah pengetahuan atau informasi, “berumah di daun-daun tembakau artinya ada sebuah informasi yang memang sangat jelas tergambar mengenai kehidupan nyata seorang petani di negeri ini.
– Bait kedua (dari “Para tani… sampai sendiri sengsara”): pada beit kedua ini, kembali digambarkan kehidupan seorang buruh tani yang penuh ironi. Mereka memanen hasil dengan sukses, tapi kesuksesan itu tidak diperuntukkan bagi kehidupan mereka yang dibuktikan dengan kalimat “berumah di gubug-gubug tanpa jendela” dan “mereka sendiri sengsara”.
– Bait ketiga (dari “Mereka memanen… sampai mengirim kondom”): Maksudnya, bahwa kerja keras para petani hanya dinikmati oleh orang-orang kalangan atas (bos). Kerja keras mereka adalah harta karun bagi bangsa-bangsa penguasa (Eropa). Tidak ada keadilan bagi mereka, sekalipun mereka (petani) menginginkan keadilan, maka para pemimpin tidak pernah menggubrisnya. Justru bangsa-bangsa penguasa (Eropa) semakin membuat moral petani hancur dengan cara mengenalkan budaya jelek (main perempuan) mereka (Bangsa Eropa) kepada para petani kita.
– Bait keempat (dari “Penderitaan mengalir… sampai burung kondor”): Maksudnya, para rakyat kecil bangsa kita–khususnya petani—selalu mengalami penderitaan yang tiada hentinya. Dari pagi sampai sore mereka berusaha mati-matian untuk bekerja keras. Menoleh ke kiri dan ke kanan maksudnya mereka bekerja baik dengan cara benar ataupun salah. Di hari senja (tua) mereka menjadi seseorang yang sama sekali tidak dihargai. Ketika itulah mereka mulain terjatuh ke dasar jiwa yang paling buruk. Sehingga mereka (rakyat kecil) berubah menjadi pribadi yang jelek (burung kondor).
– Bait kelima (dari “Beribu-ribu… sampai sakit hati”): Maksudnya, orang-orang yang memiliki pribadi jelek tersebut kemudian mulai bertindak semaunya sendiri (berbuat kriminal, dsb) karena memang telah murka dengan perlakuan para penguasa-penguasa mereka.
– Bait keenam (dari “Burung-burung… sampai tempat-tempat yang sepi”): Maksudnya, mereka (orang-orang berkepribadian jelek/rakyat yang murka) kemudian mencapai puncak kemurkaan yang paling tinggi, yang kemudian berujung pada perbuatan melawan penguasa, dengan mengoar-koarkan tentang keadilan.
– Bait ketujuh (dari “Burung-burung… sampai tempat-tempat yang sepi”): Maksudnya, mereka (orang-orang berkepribadian jelek/rakyat yang murka) kemudian mencapai puncak kemurkaan yang paling tinggi, yang kemudian berujung pada perbuatan melawan penguasa, dengan mengoar-koarkan tentang keadilan.
– Bait terakhir (dari “Berjuta-juta burung… sampai bersiap menembaknya”): Maksudnya, orang-orang yang memiliki kepribadian jelek (rakyat kecil yang murka/burung kondor) semakin berbuat murka (melakukan tindakan criminal yang lebih kejam). Hingga kahirnya berujung menjadi sebuah terdakwa (musuh polisi/aparat berwenang) yang harus dihukum oleh aparat berwenang/hukum.

C. Pendekatan Mimetik
Sajak Burung-burung Kondor merupakan salah satu karya WS Rendra yang berisikan kritikan pedas terhadap pemerintahan pada waktu itu. Keseluruhan isi dari puisi tersebut adalah representasi dari keadaan Bangsa Indonesia pada waktu Soeharto berkuasa.
Pada tahun 1973, keadaan Indonesia terutama pada bidang perekonomian memang sedang mengalami perbaikan. Segala aspek yang berhubungan dengan perekonomian seperti menurunnya inflasi, naiknya pendapatan dari penjualan minyak bumi, naiknya minat kontraktor asing yang hendak menanamkan modal pada bidang perkebunan dan pertambangan di Indonesia.
Keadaaan tersebut kemudian mengakibatkan kenaikan pula pada bidang produksi pangan didorong oleh kebijakan intensifikasi penggunaan bibit unggul, pupuk, dan kredit murah, serta perluasan dinas penyuluhan. Para petani menjadi lebih mudah bertani dan hasil panen lebih melimpah dan terjamin. Akan tetapi, keadaan tersebut tetap saja tidak merubah keadaan para petani di Indonesia. Penghasilan mereka hanya berkisar rata-rata rakyat menengah kebawah. Keadaan tersebut kemudian sangat jelas digambarkan oleh Rendra melalui Puisi Sajak Burung-burung Kondornya, seperti pada bait Para tani – buruh bekerja,/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela,/ menanam bibit di tanah yang subur,/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.
Melalui puisi tersebut Rendra mencurahkan perasaannya melihat keadaaan para petani pada masa itu. Oleh karena itu, Rendra mencoba mengkritisi kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berujung pada ketidaksejahteraan para petani.
Rendra juga mengkritik perihal investor asing yang menanamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan ataupun pabrik-pabrik di Indonesia. Tanpa mengeluarkan keringat dan bersusah payah mereka bisa dengan mudah menikmati hasil kerja keras rakyat kecil di Indonesia, sementara rakyat kecil kurang begitu menikmati hasil kerja keras mereka. Seperti yang terdapat pada bait Mereka memanen untuk tuan tanah/ yang mempunyai istana indah.

KESIMPULAN
Puisi Sajak Burung-burung Kondor karya WS Rendra bisa dianalisis menggunakan pendekatan struktural. Dengan pendekatan struktural itu pula kita dapat memahami apa makna/arti dari puisi tersebut. Dapat disimupulkan bahwa Puisi Sajak Burung-burung Kondor memiliki makna bahwa keadaan para petani pada waktu itu memang sangat memperihatinkan. Hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Mereka yang hanya bermaksud menuntut keadilan kepada pemerintah justru mendapat perlawanan dan mendapat kecaman dari pihak yang berwajib. Nasib para petani tergantung para pemimpin yang mengaturnya.
Puisi Sajak Burung-burung Kondor juga merupakan representasi atau gambaran dari kehidupan nyata. Sajak tersebut dibuat pada tahun 1973, dimana pada saat itu keadaan para petani di Indonesia sangat memperihatinkan. Dengan demikian, analisis terhadap puisi tersebut bisa juga dengan menggunakan pendekatan mimetik.

DAFTAR PUSTAKA

• Pradopo, Rachmat djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
• Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
• Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.


ahmad tohariNovel Bekisar menceritakan mengenai kehidupan Masyarakat Karangsonga. Kesehariannya, mereka sebagian besar bekerja sebagai penderas Nira kelapa untuk dibuat gula merah. Oleh karena itu, mayoritas mereka adalah kalangan bawah yang hanya untuk makan saja susah.
Di dalamnya menceritakan pasangan suami istri bernama Darsa dan Lasiah yang harus menanggung kehidupan yang berat. Darsa yang penderes, beristerikan Lasi yang cantik dan berkulit putih, yang mempunyai nilai fisik di atas rata-rata isteri-isteri para penyadap lain. Ternyata Lasi merupakan keturunan campuran antara mbok Wiryaji dengan seorang tentara Jepang yang setelah pernikahannya, tidak pernah kembali ke desa dan hilang tidak tentu rimbanya-kabarnya ditahan Belanda.
Kemiskinan penduduknya sangat tergambar detil di dalam novel ini. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari novel-novelnya adalah pemaparan yang sangat artikulatif tentang alam pedesaan. Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor (bambu untuk menadah getah nira), ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumberdaya alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan mereka. Tidak ada alternatif untuk memperoleh keuntungan sedikit lebih, dengan ‘mencuri’ kayu sebagai bahan bakar membuat tengguli, bahan gula merah.
Adapun konflik pembuka dalam novel ini adalah masyarakat Karangsonga harus bertaruh nyawa ketika sedang memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira. Demikian juga nasib Darsa. Karena jatuh, yang dalam kebiasaan masyarakat disebut sebagai “kodok melompat” (pantang untuk menyebut jatuh dari pohon kelapa—sebagai pengingkaran rasa takut komunal), Darsa sempat menderita kelainan di sekitar alat reproduksinya, lemah pucuk. Dia pun, karena miskin, hanya dirawat oleh seorang dukun bayi, Bunek. Lasi dengan setia tetap menemani suaminya meski dalam kondisi lemah dan selalu ngompol. Lama kelamaan, karena pengobatan intensif yang dilakukan Bunek terutama pada sekitar selangkangan Darsa, diapun bisa pulih kembali. Pada malam “kebangkitan kembali” si Darsa, Bunek minta agar dicobakan pada Sipah, perawan tua anak Bunek sendiri. Darsa yang memang berada pada pilihan sulit akhirnya mau menerima tawaran itu. Hingga berujung pada kepergian Lasipah ke kota untuk meninggalkannya. Ia pun menikah dengan anak Bunek.
Cerita lalu banyak membedah batin Lasi. Sebagai perempuan desa yang cantik yang telah terbiasa hidup dengan segala kemiskinannya selama dua puluh empat tahun, secara tiba-tiba dihadapkan dengan norma-norma kehidupan kota besar yang amat sangat asing baginya. Dia yang ditampung sementara oleh ibu Koneng, pengelola warung tempat para sopir truk mampir yang juga menjadi tempat berpangkalnya para perempuan “pacar” para sopir truk, menyaksikan nilai-nilai sosial yang teramat sulit dipahami oleh seorang perempuan desa yang sederhana dengan tingkat pendidikan yang rendah. Misalnya, keintiman lelaki dan perempuan yang selama ini dipahami sebagai perilaku yang didasari oleh percikan jiwa dan cinta, di warung itu bisa terjadi dengan begitu gampang, oleh siapa saja, dengan dasar beberapa lembar uang kertas.
Singkat cerita, Lasi, yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan sebentuk cincin berlian. Para pejabat pemerintah saat itu diceritakan mempunyai kebiasaan mencari “pacar” atau isteri kesekian yang mempunyai wajah mirip orang Jepang. Ini akibat dari perilaku latah birokrat karena Pemimpin Besar-nya memasukkan seorang geisha ke istana dan akhirnya menjadi ibu negara. Klop sudah, dengan Lasi. Dia yang mempunyai wajah seorang perempuan Jepang, menjadi incaran para pejabat. Diapun lalu ditukar dengan sebuah mobil Mercedes dan beberapa puluh juta rupiah oleh ibu Lanting kepada Pak Handarbeni, seorang overste purnawira yang menjadi pejabat, berumur hampir enampuluh lima tahun, gemuk, dan sudah mempunyai dua isteri. Lasi-pun menjadi seekor bekisar yang menjadi pajangan di rumahnya yang baru dan mewah di Slipi. Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Biasanya jenis ayam ini untuk hiasan dalam kandang indah oleh para orang kaya.
Lasi, yang akhirnya dikawini Pak Handarbeni (perkawinan main-main menurut istilah Lasi), menikmati segala kemewahan materi yang tidak pernah terbayangkan oleh bekas seorang isteri penderes nira dari desa Karangsoga. Namun di balik segala kemewahan materi, penderitaan batin Lasipun amat berat. Dia merindukan desanya, emaknya, dan Kanjat, teman sepermainannya waktu sekolah yang sekarang sudah menjadi mahasiswa dan hampir lulus. Pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh lama dalam hidupnya membuat Lasi makin linglung karena berdiri di antara dua nilai kehidupan yang dipisahkan oleh jurang yang teramat dalam.


– Judul artikel : Menjelami Laoetan Kesoesteraan
– Penulis : Anggia Murnie
– Sumber artikel : Hal. 88 – 103
– Ringkasan Artikel :
Sepantun kembang mula mengorak. Demikianlah asal mula bahasa kesusastraan tumbuh di tanah air kita. Dalam masa itu dunia persurat kabaran sedikitnya telah dapat dibanggakan. Segi itulah yang berjasa dalam peristiwa ini, yaitu dalam menciptakan bahasa Indonesia. Kemudian mulai tumbuh persoalan ekonomi, sosial, politik. Akan tetapi yang terpokok dan terutama soal bahasalah yang lebih dimajukan.
Bahasa adalah suatu alat dan perkakas untuk mengeluarkan dan menyampaikan apa yang terasa dalam hati dan apa yang tergores dalam dada. Dari bahasa inilah keluarnya kesusastraan. Kesusastraan adalah seni bahasa. Sedangkan seni berarti keindahan dan kehalusan yang diciptakan oleh insani. Kesusastraan itu ada yang berupa puisi dan ada juga yang berupa prosa baik yang berupa sajak atau bukan. Perbandingan ahli-ahli sastra yang muncul dapat kita lihat seperti Surapaty, Hr. Bandaharo, Rifai Ali, A. hasjmy dll. Kemudian kesusastraan dipakai untuk memperbagus dan memperindah bahasa. Adapun yang menyematkan hikmat dan falsafat, semangat dan ketuhanan adalah tujuan dan maksud yang ke-2.

– Judul Artikel : Musyawarah Seniman dan Budayawan Islam
– Penulis : –
– Sumber Artikel : Hal. 475 – 480
– Ringkasan Artikel :
Musyawarah tersebut menghasilkan empat keputusan, yaitu 1) Wujud Kebudayaan, terdiri dari dua poin, yaitu pengertian Kebudayaan dan Kebudayaan Islam. 2) sikap Islam terhadap Kebudayaan dan Kesenian, berisikan tentang tujuan Kebudayaan dan Hukum Kesenian. 3) pendirian Budayawan/Seniman Islam Indonesia terhadap gerakan Kebudayaan/Kesenian, berisikan tekad Budayawan/Seniman terhadap gerakan Kebudayaan dan Kesenian. 4) Daftar Usaha-usaha memperkembang Kebudayaan/Kesenian, brisikan perihal tentang pendokumentasian dan registrasi, pemeliharaan Kebudayaan/Kesenian, presentasi (penghidupan) Kebudayaan/Kesenian, dan Kreasi-kreasi baru dalam bidang Kebudayaan/Kesenian.

– Judul Artikel : Buku-buku yang dilarang
– Penulis : Lukman Ali
– Sumber Artikel : Hal. 561 – 574
– Ringkasan Artikel :
Pada saat itu banyak pertanyaan dari guru-guru Bahasa Indonesia kepada Direktorat Bahasa dan Kesusastraan mengenai pelarangan buku-buku Kesusastraan Indonesia dalam bidang pengajaraan Kesusastraan. Dan terdapat beberapa penjelasan mengenai pertanyaan tersebut, 1) pada tgl 30 November 1965 Menteri Pendidika Dasar dan Kebudayaan mengeluarkan Instruksi pelarangan menggunakan buku karangan Ormas/Orpol yang di bekukan sementara masa kerjanya dan buku-buku karangan Ormas/Orpol ‘G 30 S’ yang bertemakan mental Ideologis. Tedapat 70 judul buku dan 87 nama yang dilarang. 2) pada bulan Maret 1967, di umumkan pula pelarangan buku-buku Luar negeri yang mengandung unsure Komunisme, Marxisme-Leninisme, Marxisme-Mao tse tung-isme. Terdapat 174 judul buku yang dilarang. 3) mulai bulan Juni 1966, buku-buku tersebut boleh dipakai dan dimiliki kembali asalkan tidak tidak bertentangan dengan Falsafah Pancasila.

– Judul Artikel : Peranan Balai Pustaka Dalam Perkembangan Bahasa Indonesia
– Penulis : Nur St. Iskandar
– Sumber Artikel : Hal. 5 – 14
– Ringkasan Artikel :
Balai Pustaka (volkslektuur) didirikan oleh Gubernur Hindia Belanda di Jakarta pada 1908. Tujuan di dirikannya yaitu agar orang Indonesia pandai membaca. Kemudian Balai pustaka membentuk Komissie Voor De Volkslektuur untuk memeriksa dan meneliti karya tulis yang di kirimkan tiap-tiap orang kepada Balai Pustaka. Komisi tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan pegawai Pemerintah Indonesia, komisi ini diketuai oleh kepala Balai Pustaka sendiri. Pada tahun 1920 Balai Pustaka menerbitkan majalah tentang Ilmu Pengetahuan dan Volksmanak yang diberi nama Sri Pustaka. Banyak juga tokoh Indonesia yang menyemarakkan penerbitan Balai Pustaka, seperti H. A. Salim, Dr. Soetomo, A. Moeis dan Muh. Yamin.

– Judul Artikel : Angkatan 45
– Penulis : Sitor Situmorang
– Sumber Artikel : Hal. 147 – 152
– Ringkasan Artikel :
Pada masa sebelum angkatan 45 di terima, angkatan 45 sangat di asingkan orang. Termasuk Jogaswara dan Armijn Pane, mereka bmenganggap bahwa Angkatan 45 tidak pernah ada. Jogaswara juga menyimpulkan bahwa Sastrawan Indonesia itu harus melahirkan kesusastraan-kesusastraan yang Demokratis. Oleh karenanya penulis membandingkan konsepsi seni menurut Affandi dan Chairil Anwar. Konsepsi Affandi yaitu bahwa seni merupakan Humanisme (diri merupakan satu dengan sekelilingnya). Sedangkan Chairil Anwar beranggapan bahwa seni itu Human-Dignity (kesadaran persatuan yang menitik beratkan pada diri sendiri). Kemudian penulis membandingkan Angkatan Chairil Anwar dengan Angkatan Takdir. Angkatan Chairil Anwar tidak mempunyai Pandangan hidup tetapi menunjukan sikap hidup. Sedangkan Angakatan Takdir mempunyai pandangan hidup, bahwa sastra merupakan warisan dari zaman dahulu. Angkatan Chairil Anwar merupakan angkatan pencipta bukan angkatan yang hanya menerima.

– Judul Artikel : Fragmen keadaan III
– Penulis : Asrul Sani
– Sumber Artikel : Hal. 210 – 215
– Ringkasan Artikel :
Pada ecara pertemuan di Tugu, Asrul Sani ditanya mengenai isi Angkatan 45 dan perbedeaannya dengan Angkatan Pujangga Baru. Asrul Sani merasa tidak layak berbicara mengenai hal tersebut karena perkataannya mungkin bersifat menurut kehendak sendiri. Kemudian muncullah perbandingan antar Angkatan 33 dan Angkatan 45. Pergeseran dari Angkatan 33 dan 45 adalah karena Idealisme palsu, Sentimentalisme, dan pandangan yang berbeda. Angkatan 45 menganggap Angkatan 33 bukan merupakan kesustraan karena keterbatasan dalam hal tokohnya. Kekurangan pada Angkatan 33 bukan merupakn pembeda dengan Angkatan 45, akan tetapi merupakan sebuah ciri/tipe tersendiri.

– Judul Artikel : Roman Pitjisan
– Penulis : Tamar Djaja
– Sumber Artikel : Hal. 304 – 312
– Ringkasan Artikel :
Orang yang pertama kali menggunakan kata Pitjisan adalah Parada Harahap. Kala itu terjadi perselisihan antara Harahap dan Ratu Mona, sehingga Harahap mengecap Ratu Mona sebagai pengarang kodian dan karangan-karangannya di cap sebagai Roman Pitjisan tidak berharga. Kenapa roman tersebut bisa disebut sebagai Roman Pitjisan, karena : 1) karena cerita tersebut merupakan cerita pendek yang diperpanjang. 2) Isinya tidak begitu padat dan sangat dangkal. 3) Di karang dengan tergesa-gesa. 4) Tebalnya rata-rata hanya 80 halaman. 5) Ceritanya tidak tentu arah, tujuan dan isinya tidak jelas. Roman pertama kali tenrbit di Medan “Dunia Pengalaman” di bawah pimpinan A. Damhari dan Jsuf Souyb, diterbitkan oleh “Pustaka Islam”. Kemudian karya tersebut mendapat kritikan dari sk. “pemandangan” karena cerita Roman Pergaulan terlalu melebih-lebihkan akibat dari penyakit Syphilis yang ditulis dalam roman tersebut. Juga mendapat reaksi dari Perti, yaitu akan membakar buku tersebut, membacakan Qunut bagi orang yang bersangkutan dengan buku tersebut dan mengadukan buku tersebut kepada Resident Padang.

– Judul Artikel : INDONISASI TJILIWUNG 1
– Penulis : Mh. Rustandi Kartakusuma
– Sumber Artikel : Hal. 393 – 399
– Ringkasan Artikel :
Pada tahun 1930 lahirlah Angkatan Pujangga Baru. Semboyan mereka yaitu, “Kita harus Dinamis! Tradisi kita telah usang dan lapuk! Kita harus menggantinya dengan cara hidup baru”. Mereka mengusung Budaya barat sebagai dasar kesustraan mereka. Diantaranya yaitu Takdir. Dan tokoh yang kontra dengan pemahaman itu adalah Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Akan tetapi Takdir bersikukuh akan pandangannya bahwa kesustraan Indonesia harus meniru Budaya Barat, terutama Belanda. Karena pemikiran yang seperi itulah Angkatan Pujuangga Baru tidak bertahan lama yang kemudia timbul Angkatan 45, yang di usung Chairil Anwar dkk, dengan pandangan bahwa kesustraan Indonesia harus menjadi kesustraan Internasionalisme.

– Judul artikel : Jagat Jawa Seharusnya di Tulis dalam Bahasa Jawa
– Penulis : Soebagio Satrowardoyo
– Sumber artikel : Hal. 835-855
– Ringkasan Isi Artikel :

Pada periode ini banyak Sastrawan berpindah kepengarangannya dari penggunaan bahasa daerah secara mutlak menuju penggunaan bahasa Indonesia. Dapat pula di simpulkan bahwa seorang pengarang meninggalkan bahasa daerahnya dan menulis di dalam bahasa Indonesia di karenakan dua hal : yang pertama, dalam lingkup kehidupan/kepekgarangannya Ia sudah tidak terbiasa menggungakan bahasa daerah semisal bahasa jawa. Sedangkan yang kedua, agar karyanya bisa di nikmati secara luas oleh semua pihak, dari pada ia mengarang dalam bahasa daerah.
Dengan demikian ke-2 alasan pokok tersebut mempunyai pijakan untuk membicarakan soal pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra jawa serta penunjangya. Sedangkan lingkup Indonesia merupakan lingkup kesustraan yang bisa menerima kesustraan lain dari berbagai daerah. Dengan mempertimbangkan luas public yang terbatas yang mengenal bahasa jawa, menjadi maklum bahwa timbul keinginan pada pengarang jawa untuk beralih ke bahasa Indonesia.
Masalah yang akan di hadapi oleh pengarang daerah yang berpindah gaya bahasanya yaitu karyanya agak susah di terima. Seperti halnya puisi linus yang berjudul Pariyem, di dalamnya tidak hanya menggambarkan dunia batin yang terdapat pada seorang wanita jawa, tetapi juga membicarakan lingkungan masyarakat jawa dengan adat istiadat yang ada di dalamnya.

– Judul Artikel : NOVEL-NOVEL POPULER INDONESIA
– Penulis : Jacob Sumardjo
– Sumber Artikel : Hal. 668 – 687
– Ringkasan Artikel :
Pada masa itu terbit empat buku yang misinya membicarakan mengenai Novel-novel di Indonnesia. Buku tersebut yaitu Ikhtisar Sejarah Sastra Indonnesia (Ajip Rosidi), Pokok dan Tokoh (A.Teeuw), Perkembangan Novel-novel Indonesia (Umar Jenus) dan Sejarah Sastra Indonesia Modern (Bakrie Siregar). Pada masa itu pula terhitung 650 buku yang masuk ke Balai Pustaka, termasuk Novel picisan yang sangat banyak terbitnya. Akan tetapi buku tersebut kurang di minati karena harga buku yang sangat mahal dan isinya terlalu vulgar. Juga di karenakan karena proses penerbitannya yang terburu-buru dan tidak mementingkan kualitas buku itu sendiri. Novel-novel yang sangat di gemari pada masa ini yaitu novel yang bertemakan silat, oleh karenanya lebih banyak laki-laki yang antusias membacanya tinggi. Dan dalam tiap-tiap buku yang bertemakan silat tokoh utamanya selalu laki-laki. Akan tetapi pada tahun 1972 terjadi Revolusi, muncul sebuah buku karya Marga.T yang berjudul ‘Karmila’, yang di dalam buku tersebut tokoh utamanya adalah seorang perempuan.


– Judul : Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang jilid 3
– Penulis : Pamusuk Eneste
– Penerbit : Gunung Agung – Jakarta MCML XXXVI
– Cetakan Pertama : 1986
– Tebal : 180 halaman

Buku ini menjelaskan mengenai Latar Belakang para Sastrawan Indonesia untuk mulai mengarang dan menghasilkan karya-karya Sastra baik dalam bentuk Sajak, Prosa atau karya-karya Sastra lainnya. Dijelaskan pula perjalanansingkat kehidupan mereka dalam hal kesustraan. Juga terdapat gambaran mengenai proses kepengaraan mereka.

Berikut beberapa penjelasan singkat mengenai mengapa dan bagaimana para Sastrawan besar Indonesia dalam menghasilkan karya-karya Sastra :

– Etos kreatif dan proses kreatif – Linus Suryadi AG : Kehidupan semasa kecilnya tidak menunjukan kalau ia mempunyai keistimewaan dalam hal syair-menyair. Pertama kali ia tertarik dalam dunia syair-menyair yaitu ketika bertemu dengan sejumlah Mahasiswa UGM di Pondokan Utara Tugu Jogja pada tahun 1969. Diantaranya yaitu Suyono Ahmad Suhadi yang sering membaca majalah Horison dan Sastra. Lalu ia tergerak untuk meminjam majalah tersebut sehingga ia berkeinginan untuk menulis sebuah sajak. Dan sajak pertamanya yang di muat di majalah Basis yaitu sajak yang berjudul Alibi. Tujuannya terjun ke dalam dunia kepenulisan puisi yaitu supaya ia bisa terbebas dari keresahan dan kegelisahan batin yang sering ia rasakan.
Prosa liriknya yang sangat di kenal kalangan masyarakat yaitu Pengakuan Pariyem. Tokoh dalam lirik ini diambil dari dua model yaitu seorang anak petani yang menumpang hidup di rumahnya dan seorang dari keluarga sedusunnya, cantik, muda dan merupakan lembu peteng (anak tak sah). Dan beberapa tokoh lainnya yang merupakan buah imajinasinya yang terdapat pada lirik tersebut.
– Hanya Daun, Cuma Daun – Darmanto Jatman : Karena ketidakberhasilannya dalam mengungkapkan sajak bahasa Indonesia, akhirnya banyak sajak Darmanto yang menjadi penghuni keranjang sampah. Satu kata bahasa Jawa yang sulit ia ubah menjadi bahasa Indonesia karena terlanjur menyukai kata tersebut yaitu kata Lestari. Menurutnya kata tersebut telah membebaskannya dari Obsesi kaeabadian yang menjadi impian para penyair pada waktu itu, dan karena satu kata itu pula lah sajaknya tidak jadi di terbitkan. Sementara di Gereja selalu di kabarkan betapa Fananya kehidupan manusia. Sebuah lagu yang telah mengucap segenap pewarnaan pengertian hidupnya, Hanya Daun. Di sampiung percaya akan Wahyu, ia juga percaya akan Ilmu, kelak menurut hematnya Wahyu erembes ke dalam ilmu. Maka ilmu pun menjadi sumber penafsiran makna hidupnya.

– Bergurau atau mencela lewat Mesin ketik – Titis Basino P.I : Titis merupakan sosok wanita pendiam. Ia mulai menulis pertama kali yaitu ketika berada di SLTP dan SLTA. Itu pun hanya ketika ada tuntutan tugas dari gurunya. Pada saat itu pun tulisannya tidak terikat pada aturan yang pernah dipelajarinya di sekolah. Sering kali tulisannya di tertawakan oleh teman-teman sekelasnya, karena menurut teman-temannya bahasa tulisannya sangat aneh dan sukar di pelajari. Tulisan-tulisannya selalu bertemakan mengenai kehidupan guru-gurunya yang pada masa itu mereka sangat ingin di agungkan.
Baginya, menjadi seorang penulis bukanlah tujuan hidupnya, karena ia beranggapan bahwa seorang penulis ituidentik dengan kemiskinan. Menjadi seorang pengarang bukanlah karena honornya, melainkan karena ia akan mendapat kelegaan ketika ia menuliskan apa yang ada di pikirannya. Pertama kali ia menulis yaitu ketika ia berada di asrama putri, yang pada saat itu masih bertemakan perasaannya terhadap lawan jenisnya. Yaitu Rumah Dara, Dia dan Hotel. Ketiga tulisan tersebut di muat di sebuah media. Lewat mesin ketik pula lah ia bisa dengan bebas mencurahkan isi hatinya, bergurau ataupun mencela lawan jenisnya dengan aman.

– Proses kreatif saya sebagai penyair – W.S. Rendra : Pada masa remajanya, pola pikir Rendra lebih menuju pada penghayatan Alam semesta. Ketertarikannya yaitu pada bidang cerita dongeng, legenda dan mitologi. Proses penghayatan Alamnya yaitu dengan cara mengamati, memeluk, menyetubuhi hingga akhirnya menghayati dengan sepenuh jiwa. Yang kemudian sampai pada kesadaran alam, yaitu kesadaran diluar kesadaran kebudayaan. Sebagai seorang seniman, Rendra mempunyai pengalaman melakoni dan menghayatin perkembangan bentuk seni yang beragam. Ia mempunyai disiplin untuk tidak mengabdi pada bentuk seni tertentu, melainkan harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam dan mampu melayani kebutuhan Dinamisme isi rohani dan pikirannya. Setelah lama berkecimpung dengan dunia alam, ia pun kini mulai memikirkan tentang peristiwa hidup dan mati. Hingga lahirlah sajak Kakawin kawin dan Masmur mawar. Selain itu, Rendra juga merupakan sosok yang sangat tertari9k dengan persoalan sosial, ekonomi dan politik, meskipun pengetahuannya dalam bidang tersebut sangatlah minim.

– Mengapa mengaramg – Utut Tatang Sontani : Utuy adalah seorang yang asli keturunan dari keluarga Sunda. Ayah dan ibunya hidup didaerah Cianjur. Pada masa kecilnya ia pernah di sekolahkan di sekolah Schakel, di situ ia bisa belajar banyak tentang bahasa Belanda. Akibat keterbatasannya dalam hal menghafal, ia di hukum oleh gurunya untuk berdiri di depan kelas. Sehingga pada hri-hari setelah itu ia tidak mau untuk melanjutkan sekolah dan akhirnya di keluarkan dari sekolah Schakel. Melihat ahl itu, ibunya tidak tinggal diam, beliau berkali-kali membujuknya agar mau di sekolahkan kembali. Tapi ajakan ibunya itu terus menerus ia tolak hingga ia akhirnya bersedia di sekolahkan lagi. Ketika seusia remaja ia sangat senag membaca koran. Dan pertama kali ia mulai menulis yaitu ketika ia merasa sangat kesal terhadap seorang gadis perempuan, tetangganya. Tulisan tersebut kemudian ia kirimkan ke redaksi sinar pasundan melalui paman dari gadis perempuan tetangganya itu. Tulisan itu pun berhasil di muat karena dalam proses pembuatannya ia merasakan sendiri keadaan tersebut sehingga dapat begitu mengena di hatinya. Nasib kependidikannya mulai tidak jelas, ia pernah naik kelas pindah ke sekolah Taman dewasa, tapi tidak bertahan lama karean keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, akhirnya ia keluar dari sekolah tersebut. Setelah itu ia mulai menulis kembali, terdapat dua karya pada saat itu, Mahala Bapak dan Tambera. Hingga orang telah banyak yang mengenalnya. Menurut ibunya, ia pandai mengarang di karenakan sifatketurunan dari neneknya dulu yang suka mengarang cerita juga. Kata ayahnya berbeda lagi, ia pandai mengarang karena didikan paman dari gadis yang dulu pernah menjadi tetangganya.

– Kesimpulan : Para Sastrawan Indonesia dair kecil sangat bevaariatif kehidupannya, ada yang semasa kecilnya sudah menunjukan kalau ia akan menjadi seorang pengarang besar dan ada pula yang semasa kecilnya sama sekali tidak menunjukan keistimewaannya dalam hal mengarang dan menulis. Kepengarangan itu sendiri mereka temukan melalui proses kehidupan dan realitanya.

Sinopsis Tidak Ada Esok

Posted: 14 Januari 2011 in Kuliah, sastra

– Judul : Tidak Ada Esok
– Pengarang : Mochtar Lubis
– Tahun : Cetakan Ketiga, 1989
– Tebal buku : 226 hlm.
– Penerbit : Pustaka JayaMochtar lubis

Ringkasan Cerita
Novel ini menceritaakan tentang perjuangan seorang tokoh Johan ketika masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, dan paska kemerdekaan. Berawal dari penggambaran setting yang sangat piawau dilakukan oleh pengarang. Tokoh Johan bersama pasukan lainnya hendak mengepung para penjajah di sebuah hutan. Kegelisahannya mulai terasa ketika pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang memberatkan.
Setelah tau musuh tidak jadi lewat di daerah yang mereka tunggui, mereka beristihat membentuk sebuah perkumpulan, dimana seorang-seorang saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Johan yang kala itu menceritakan pengalamnnya bertemu bertemu dengan seorang gadis. Pengalaman itu baginya sangat berarti. Dari situlah kisah cintanya dengan perempuan itu timbul.
Kemudian ia hendak pergi ke Kota Yogya, ke rumah temannya. Di sana ia bersama dengan teman lainnya masuk ke dalam organisasi masing-masing, ada yang masuk sebagai tentara, sebagai Laskar Rakyat, dan sebagainya. Sedangkan ia sendiri masuk Peta pada tahun 1944. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat kuat, ia dinilai sangat bagus.
Kemerdekaan pun tiba, saat itulah ia merasa telah tenang. Akan tetapi ketenangannya itu kembali harus terusik setelah kedatangan kembali Belanda untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Pada saat itu Johan bertindak sebagai pembawa laporan dari para pejuang yang hendak dilaporkan kepada kantor pusat.
Pada pertempuran paska kemerdekaan itulah banyak dari temannya yang gugur. Kematian teman-temannya menjadi dasar pemikirannya untuk merenungi, untuk apa ada pertempuran, pertumpahan. Ia akhirnya menyadari semua itu adalah sebuah pengorobanan.

Komentar
Novel ini merupakan novel yang sangat bagus. Pengarang seperti menceritakan tentang sejarah bangsa Indonesia pada zaman penjajahan sedetil mungkin. Penggambaran tersebut dilakukan dengan bermacam-macam cara, seperti kisah langsung tokoh utama dan cerita-cerita dari tokoh lainnya dalam novel ini. Penggambaran watak tokoh kurang begitu detil. Lain halnya dengan penggambaran setting yang dijelaskan sedetil mungkin, tempatnya, suasananya, dan sebagainya, seperti pada saat menggambarkan keadaan pasar malan Rakutenchi. Selain itu, pengarang juga banyak menyisipkan kalimat-kalimat yang merupakan pemikiran filsafatnya mengenai kehidupan dan kemanusiaan. Konflik yang terjadi dijelaskan dengan wajar. Berbeda dengan konflik batin yang terjadi antara ia dengan tokoh Ifah dalam cerita tersebut. Mereka bisa saling menerima meskipun pemikiran mereka saling berbanding terbalik.


LATAR BELAKANG
Sastra merupakan penggambaran kehidupan yang dituangkan melalui media tulisan. Terdapat hubungan yang erat antara sastra dan kehidupan, karena fungsi sosial sastra adalah bagaimana ia melibatkan dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat (Semi, 1989:56).
Melalui sastra, pola pikir seseorang atau kelompok masyarakat dapat terpengaruh. Karena sastra merupakan salah satu kebudayaan, sedangkan salah satu unsur kebudayaan adalah sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, di dalam sebuah karya sastra tentu akan terdapat gambaran-gambaran yang merupakan sistem nilai. Nilai-nilai yang ada itu kemudian dianggap sebagai kaidah yang dipercaya kebenarannya, sehingga pola pikir masyarakat dapat terbentuk melalui karya sastra.

PEMBAHASAN
Sosiologi Sastra
Dalam kaitannya menghubungkan antara sastra dan perubahan sosial, peran sosiologi sastra sangat penting. Karena sosiologi sastra hanya mengkhususkan diri menelaah sastra dalam hal sosial kemasyarakatan. Seperti yang tercantum di dalam pengertian sosiologi itu sendiri yaitu suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sedangkan Sastra merupakan penggambaran kehidupan manusia dan masyarakat yang dituangkan melalui media tulisan (Semi, 1989:52). Jadi, kedua hal tersebut sama-sama berhubungan dengan manusia dan masyarakat.
Dalam mengikuti perkembangan karya satra secara serius, perlu adanya pendekatan dimana karya sastra tidak lagi dicap sebagai tulisan yang hanya berupa kreasi imajinatif saja, akan tetapi lebih memperhatikan sastra dari sudut pandang “maknanya”. Berbagai macam pendekatan yang dilakukan terhadap karya sastra Yang ada pada sosiologi sastra, seperti sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang berkenaan dengan penciptaan karya sastra; yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri dan pengaruhnya terhadapa pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra (Wiyatmi, 2006). Oleh karena itu, secara garis besar pondekatan ini merupakan suatu pendekatan yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia terutama menyangkut kehidupan kemasyarakatannya.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (dalam Sayuti, 2007) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Hubungan Sastra, Masyarakat, dan Kebudayaan
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu sangat erat, karena kebudayaan itu sendiri, menurut pandangan antropolog, adalah cara suatu kumpulanmanusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menenukan suatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan, dimana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian dari kebudayaan.
Kebudayaan memiliki tiga unsur:
1. Unsur sistem sosial
2. Sistem nilai dan ide
3. Peralatan budaya

Bila ciri kebudayaan itu kita letakan pada sastra dan kita kaitkan pula dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa nilai suatu sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri. Kesustraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagaimana juga dengan karya seni yang lain, sastra mempunyai fungsi social dan fungsi estetika.

Sastra Sebagai Sumber Nilai Bagi Masyarakat
Terdapat berbagai macam aliran dalam karya sastra, salah satunya adalah aliran realisme. Aliran tersebut memfokuskan karya sastra terhadap apa yang ada di dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, aliran ini sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita.
Karya sastra yang menggunakan aliran ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan sosial bangsa Indonesia, terutama dalam hal pola pikir. Contohnya saja Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang mampu membuka pola pikir masyarakat kita yang sejak zaman dahulu mengenal budaya kawin paksa. Novel tersebut memberikan kesan kepada pembaca bahwa kawin paksa merupakan suatu hal yang negatif. Banyak hal-hal negatif yang muncul akibat proses kawin paksa. Dengan adanya novel tersebut pola pikir masyarakat cenderung berubah. Terutama dalam segi kehidupan berkeluarga. Hal tersebut bisa terjadi tergantung bagaimana kekuatan mempengaruhi yang ada di dalam karya sastra itu sendiri.
Selain novel di atas, Novel Belenggu juga merupakan salah satu novel yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Melalui novel tersebut, pengarang berusaha menyampaikan pesannya kepada pembaca bahwa di dalam menjalani hubungan kekeluargaan waktu dan perhatian bagi antar anggota keluarga sangat penting. Jika hal demikian tidak bisa terpenuhi, maka perpisahan adalah konsekuensinya. Dengan adanya novel tersebut, pola pikir masyarakat tentu akan terbangun. Masyarakat akan lebih mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada karya tersebut karena karya tersebut mengemukakan alasan dan konsekuensi yang kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Boulton (lewat Aminuddin, 2000:37) mengungkapkan bahwa karya sastra menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya. Di samping itu, sastra juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan dan kontemplasi batin, dari masalah agama, filsafat. Politik maupun macam-macam masalah kehidupan lainnya. Kandungan makna yang kompleks dan keindahan dalam karya asastra tergambar lewat media kebahasan atau aspek verbal. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa karya sastra mengandung berbagai unsur yang kompleks, yaitu:
1. Unsur keindahan.
2. Unsur kontemplatif.
3. Media pemaparan.
4. Unsur-unsur intrinsik yang menandai eksistensi karya sastra.

Karya Sastra Yang Timbul Akibat Perubahan Sosial Pada Masyarakat

Banyak dari karya sastra bangsa kita yang timbul setelah melihat keadaan yang ada pada saat itu. Karya-karya tersebut tentunya akan bersifat realisme. Pengarang berkesa menceritakan kondisi yang ada dengan bahasa yang ringan agar lebih mudah untuk dipahami. Karena jika tidak deminikan, m aka aka nada kesalahpahaman maksud antar pengarang dengan pembaca. Selain itu, untuk menjadikan karya sastra tersebut menarik, tentunya pengarang harus pintar-pintar dalam memilih kata dan mempermainkan unsure intrinsic yang ada di dalamnya.
“Tetralogi Buru” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah karya yang ia buat selama masa pembuangan di Pulau Buru. Seri novel yang mengisahkan tentang Minke itu merupakan karya yang dibuat atas dasar ilham pengarang pada saat melihat kondisi bangsa Indonesia kala itu. Kisah tersebut pada dasarnya adalah kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan di Buru karena tidak adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu berada di bawah sorotan dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat siksaan aparat) mendapat sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu sendiri tak pernah sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya. Karya Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat diselamatkan seperti banyak karya-karya Pram lainnya yang dibakar oleh tentara. Tetapi jasa-jasa orang asing seperti seorang pastor Jerman dan seorang warganegara Australia bernama Max Lane yang berhasil menyelundupkan keluar dan akhirnya menerbitkan Tetralogi Buru itu di luar negeri. Tak heran jika Pram pernah berkata, “Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia.”

Kesimpulan
Keterkaitan antara sastra, manusia, dan masyarakat sangat jelas, Keterkaitan semuanya terdapat di dalam segala aspek. Karena bagaimanapun juga sastra dan kehidupan sama-sama membahas dan membicarakan tentang manusia dan masyarakat. Bagi sastra, masyarakat merupakan faktor terpenting. Sedangkan Masyarakat merupakan objek vital bagi ilmu sosial. Semua hal itu saling mempengaruhi sikap masing-masing. Ketikan sastra telah mengemukakan sesuatu yang benar dalam rekaannya, sedikit banyak akan mempengaruhi sikap sosial dan ketika sosialitas terus berkembang.
Antara sastra dan Perubahan sosial masyarakat tidak ada yang paling menonjol. Dua hal tersebut saling mendukung. Sastra bisa timbul karena perubahan sosial masyarakat, bisa juga perubahan sosial yang ada akibat dari penciptaan sebuah karya sastra.

DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra; dari Strulturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sayuti, Suminto A. 2009. Cerkan. Jakarta: Universitas terbuka
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Teeuw, A. 2003. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.